telusur.co.id - Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR RI Benny K. Harman menegaskan bahwa putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI yang dibacakan Ketua MKD dalam sidang di Kompleks Parlemen, Jakarta, tanggal 24 Juni 2024 lalu, yang menyatakan Ketua MPR Bambang Soesatyo/ Bamsoet melanggar kode etik anggota dewan karena pernyataannya soal wacana amandemen UUD 1945, sehingga dijatuhi sanksi ringan dalam bentuk teguran tertulis, sebagai putusan sesat dan salah alamat.
“Saya membaca di media sosial bahwa Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, dijatuhi hukuman oleh MKD DPR RI. Menurut saya itu adalah putusan sesat. Kenapa? Karena Bamsoet itu adalah Ketua MPR bukan Ketua DPR. Beliau bicara dalam kapasitasnya sebagai Ketua MPR RI,” ujar Benny, dalam keterangannya kepada media massa, di Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Benny melihat, substansi pembicaraan Ketua MPR itu masih dalam batas-batas kepantasan. “Beliau (Bamsoet) menyatakan bahwa beliau melakukan perjalanan keliling bertemu masyarakat dan elit publik, dia menangkap semangat ingin kembali ke UUD 1945, sebagai respon atas kegalauan dan keresahan yang muncul pasca pemilu pileg dan pilpres. Jadi, dia menangkap pesan itu,” ujarnya.
Dikatakan Benny, sepanjang apa yang disampaikan Bamsoet benar-benar dari para pimpinan dan elit politik dan menyampaikan itu ke publik, hal itu masih dalam batas kewajaran dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
Lagipula, lanjut Benny, apa yang disampaikan Bamsoet perihal kembali kepada UUD 1945 dan amandemen ke lima itu, adalah memang hal yang dibahas di MPR. Apalagi, setelah Bamsoet keliling ke para pimpinan partai politik. Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkan, karena masih dalam tahap wajar. Sebab, Ketua MPR hanya menyampaikan pesan yang terbuka untuk diperdebatkan, diwacanakan dan didiskusikan. Sebagai Ketua Fraksi Demokrat di MPR RI, Benny sangat menghargai ada pandangan semacam itu yang memang sangat perlu diwacanakan.
“Jika saja memang ada masalah dalam pernyataan itu, ada pelanggaran kode etik yang dilakukan, sampai saat ini saya tidak menemukan kode etik mana yang dilanggar oleh Bamsoet. Kecuali, dia melakukan tindakan di luar aturan yang ditentukan dalam peraturan tata tertib. Ini kan hanya wacana. Apa yang disampaikan Bamsoet itu adalah wacana dan MPR tidak ditentukan oleh wacana seorang Ketua MPR atau salah satu Wakil Ketua,” jelasnya.
Benny memberi ilustrasi. Sama saja dengan anggota DPR. Anggota DPR, bisa menyampaikan pandangannya masing-masing. Tapi, belum tentu pandangannya itu merepresentasikan pandangan semua anggota DPR. Intinya, apa yang disampaikan Ketua MPR itu adalah kerisauan umum yang ditangkap oleh beliau dan disampaikan ke publik.
Sekali lagi, Benny menegaskan, dirinya tidak menemukan kode etik yang dilanggar oleh Ketua MPR. Kalaupun ada pelanggaran kode etik, maka pelanggaran yang dilakukan oleh Ketua MPR itu, tidak bisa dibawa ke MKD DPR. Itu menyangkut kompetensi absolut. Contoh, bagaimana bisa pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya, diadili oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) atau sebaliknya. Itu sangat tidak mungkin.
“Jadi, ketika dipanggil MKD DPR. Maka itulah alasannya untuk Ketua MPR tidak memenuhi panggilan itu, karena salah alamat dan forumnya salah. MKD DPR juga tidak memiliki kewenangan untuk mengadili pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh seorang anggota ataupun Ketua MPR. Tapi, kalau diadili oleh MKD-nya MPR, itu baru boleh memenuhi panggilan,” tandasnya.