telusur.co.id, Jakarta – Rencana peleburan empat lembaga Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional menuai kontroversi.
Pasalnya, rencana itu bertentangan dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek).
Selain itu, langkah tersebut juga dianggap sebagai kemunduran di bidang riset dan teknologi nasional. Padahal, hasil inovasi dari lembaga penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (Litbangjirap) seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah dirasakan manfaatnya.
Inovasi garapan BPPT yang sudah dirasakan manfaatnya diantaranya yakni membuat drone kombatan, membuat rapid tes antigen pertama, mendukung Genose, dan sebagainya.
Demikian disampaikan Anggota Komisi VII DPR Andi Yuliani Paris dalam diskusi virtual Alinea Forum ‘Model Integrasi BRIN’, Jumat (18/6).
"BPPT juga memberikan penerimaan negara bukan pajak yang cukup lumayan. Karena hasil-hasil rekayasa mereka digunakan industry,” kata Andi Yuliani.
Selanjutnya, inovasi lain yang tak kalah mentereng juga dihasilkan oleh Lapan yang telah sukses membuat alih teknologi untuk mengetahui kondisi cuaca.
Menurut Politisi PAN ini, apabila lembaga Litbangjirap benar-benar dilebur, bangsa Indonesia akan mengalami keterpurukan di bidang riset dan teknologi.
“Ada pihak-pihak yang akan tertawa ketika kita mengalami kemunduran dalam bidang inovasi," ujar Andi dalam diskusi virtual Alinea Forum ‘Model Integrasi BRIN’, Jumat (18/6).
Oleh karena itu, dia meminta semua pihak tidak salah mengartikan bahwa BRIN adalah lembaga yang meleburkan seluruh lembaga litbangjirap.
"Saya tidak tahu apakah Pak Jokowi bisa melihat dampak dari peleburan ini. Bagi saya, BPPT, LAPAN, LIPI sudah semakin baik. Dan tentu juga dipikirkan bagaimana nasib teman-teman peneliti, perekayasa dan lainnya," ujar dia.
Andi Yuliani menjelaskan, berpijak pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sisnas Iptek, BRIN bukanlah lembaga litbangjirap. Sebab, Dalam Pasal 14 dan Pasal 42 UU Sisnas Iptek, menyebutkan soal penyelenggara dan kelembagaan Iptek.
Penyelenggara Iptek, jelas Yuliani, mencakup lembaga pendidikan, lembaga penelitian, lembaga pengembangan, lembaga pengkajian, dan lembaga penerapan.
Sementara itu, kelembagaan Iptek meliputi kelembagaan yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan, kelembagaan pengkajian dan penyerapan, kelembagaan perguruan tinggi, kelembagaan badan usaha, dan kelembagaan penunjang.
Adapun BRIN, lanjut Yuliani, diatur di Pasal 48. BRIN hanya menyinergikan dan mengarahkan. "Intinya, BRIN bukan pelaksana dalam konteks Pasal 14 dan Pasal 42. BRIN hanya mengoordinasikan perencanaan dan anggaran. Bukan pelaksanalitbangjirap," jelas dia.
Oleh karena itu, menurut Yuliani, peleburan litbangjirap ke dalam BRIN bertentangan dengan Pasal 14 dan Pasal 42 UU Sisnas Iptek Tahun 2019. Makanya, Perpres tentang BRIN seharusnya dapat digugurkan melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Atau presiden yang mencabut sendiri perpes itu. Bukan tidak mungkin Jokowi menyadari ada kesalahan. Karena perpres ini memengaruhi kinerja peneliti dan perekayasa," kata dia.
Dalam acara yang sama, Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sofian Effendi menuturkan pergantian Kementerian ristek menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merupakan inkonsistensi kebijakan Iptek dalam implementasi UU Sisnas Iptek.
Dari aspek birokrasi juga sebuah kemunduran, sebab, Badan pemerintah tak memiliki kewenangan setinggi Kementerian.
Untuk itu, dia mengusulkan sebaiknya BRIN fokus menjadi lembaga pemerintah yang otonom untuk pemrograman, perencanaan, dan pengalokasian anggaran untuk pengembangan Iptek, jirap, invensi, dan inovasi. Sebab, infrastruktur Iptek cukup lengkap dan pegawainya masih bergairah untuk bekerja.
"Itu artinya pembinaan dan pengembangan Iptek oleh organisasi pelaksana ristek dan jirap milik kementerian, lembaga, BUMN, dan pemda diintegrasikan oleh BRIN sebagai steering, bukan dilaksanakan atau driving oleh BRIN," ujar dia.
Sementara itu, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1998-2006 Azyumardi Azra menilai, rencana peleburan empat lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) sebagai petaka.
Dia menilai peleburan itu merupakan degradasi di bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Saya melihat tidak banyak peluang BRIN bisa berkembang dengan baik dalam waktu yang praktis cuma 1,5 tahun menjelang pemilu (2024). Kerja mungkin (mulai) 2022 dan setelah itu sibuk dengan urusan pemilu. Jadi, tidak mungkin dalam waktu sesingkat itu empat LPNK yang dibubarkan kemudian dikonsolidasikan,” ucapnya.
Konsolidasi baik anggaran maupun nomenklatur membutuhkan waktu. Ia meminta pegawai di empat LPNK mengantisipasi hal-hal terburuk jika peleburan jadi dieksekusi.
Karena, kata dia, BRIN tidak memiliki posisi tawar kuat. BRIN bukan anggota sidang kabinet. Kalaupun diundang dalam sidang kabinet, posisi BRIN tidak setara kementerian. Imbasnya, BRIN bakal sulit mengajukan anggaran untuk pengembangan Iptek.
“Kalau pun mau dipertahankan, BRIN harus menjadi lembaga koordinasi dan lembaga sinergi. Cari uang sebanyak-banyaknya, walaupun posisi tawarnya rendah. BRIN bukan pada posisi yang pas untuk berbicara sama tinggi dengan menteri,” tutur Azyumardi.
Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo mengakui anggaran pengembangan Iptek, termasuk perhatian terhadap kesejahteraan para peneliti/perekayasa masih rendah.
Menurut dia, tanpa membenahi dua hal itu, mimpi Presiden Jokowi agar Indonesia menjadi negara maju pada 2045 sulit terwujud.
Kemajuan suatu negara, tak bisa dipisahkan dari investasi di bidang riset dan inovasi. Untuk itu, dinegara-negara maju, lembaga tersebut penangananya diurus secara langsung oleh pimpinan nasional dan disertai dengan dukungan alokasi anggaran yang besar.
Contohnya Amerika Serikat yang mengalokasikan US$ 612,71 miliar atau 3,1% PDB untuk pengembangan R&D, lalu Tiongkok sebesar 514,79 miliar atau 2,2% PDB, kemudian Jepang sebesar 172,61 miliar atau 3,2% PDB untuk pengembangan R&D di tahun 2019. Sementara posisi Indonesia berada di peringkat 44 dunia dengan alokasi anggaran sebesar US 2 miliar atau setara 0,1% PDB.
Menurutnya di negara-negara maju dana R&D mayoritas bersumber dari pihak swasta, seperti di Korea Selatan dimana 80% merupakan kontribusi swasta dan hanya 20% dari anggaran negara, begitu pula dengan AS dimana negara hanya menggelontorkan 30% dari total dana R&D sisanya 70% merupakan partisipasi swasta. Kondisi berbeda terjadi di Indonesia dimana sekitar 80% dana R&D bersumber dari APBN dan hanya 20% dari swasta dan pihak lain.
"Kalau tidak mau berinvestasi di bidang riset dan inovasi, juga SDM, rasanya berat. Kita akan begini-begini saja. Tumbuh pelan-pelan, untuk konsumsi lagi, bayar utang lagi. Hanya bisa begitu," kata dia.