Oleh: Suroto*
Dari sejak kuliah dulu, saya selalu menggunakan buku atau tulisan sebagai alat diplomasi. Diplomasi pengetahuan. Saya lakukan dengan menyerahkan sebuah buku kepada orang lain pada setiap kesempatan. Terutama buku buku yang ditulis untuk membela kepentingan rakyat Indonesia.
Pada waktu ulang tahun Pak Puspayoga (saat jadi Menteri Koperasi Dan UKM), saya pernah berikan bingkisan berupa buku kumpulan resep masakan "Mustika Rasa" dari hasil cetak ulang yang diterbitkan Komunitas Bamboe yang dimiliki oleh teman JJ Rizal, sejarahwan kita.
Pak Puspayoga bertanya apa isi buku itu? Lalu saya jawab bahwa buku tersebut isinya tentang resep masakan dan terutama resep masakan Nusantara. Ini merupakan proyek Bung Karno sebelum dijatuhkan dari kepresidenan yang ditugaskan kepada Menteri Pendidikan, namun tetap diselesaikan.
Saya coba tambahkan penjelasan kepada Pak Puspa, kalau buku ini sangat penting. Karena pesan Bung Karno yang terkandung di dalam buku ini adalah kita disuruh hati-hati dengan apa yang kita makan. Sebab apa yang kita makan itu menentukan seberapa daulat kita.
Setelah saya belikan buku tersebut, lalu Pak Puspa jadi sangat sering beli buku tersebut. Katanya, untuk dijadikan bingkisan untuk orang lain, dan termasuk Bu Megawati.
Resep-resep yang ada dalam buku tersebut, isinya tak hanya tentang jenis-jenis makanan nusantara yang lezat, tapi makanan-makanan yang mustinya mengisi perut rakyat Indonesia dari bahan baku yang dihasilkan oleh petani-petani kita.
Menurut saya, pesan dari buku ini sangat penting karena menyangkut dasar berfikir dan bertindak suatu bangsa dalam membangun kemandirian dan kedaulatanya. Dimulai dengan mengurus dengan benar apa yang dimakan rakyat.
Teori ekonomi politik kemandirian dan kedaulatan Bung Karno itu juga diperkuat oleh apa yang selalu diperingatkan oleh Bung Hatta secara berulang-ulang dalam tulisan maupun pidatonya bahwa janganlah ekonomi ujung jadi pangkal dan yang pangkal jadi ujung.
Apa itu ekonomi pangkal ? ekonomi pangkal adalah soal makanan dan energi. Sementara ekonomi ujung itu adalah ekonomi eksportasi semacam komoditi ekstraktif dari hasil tambang dan perkebunan monokultur seperti Sawit.
Peringatan Bung Hatta itu sebetulnya untuk membangun fundamental ekonomi kita agar menjadi kuat. Kita disuruh berusaha keras untuk menghasilkan makanan kita sendiri. Agar kita tidak bergantung pada bangsa lain untuk masalah hidup mati, soal makanan.
Kalau kita masih makan apa yang kita produksi sendiri, maka rupiah mau jatuh sehari sepuluh kali atau dunia bergejolak ekonominya seperti apapun, rakyat tetap tenang karena ada yang dimakan.
Kalau kita menghasilkan apa yang kita makan sendiri, maka kita tidak perlu takut dengan inflasi karena suplai makanan kita tidak bergantung pada negara lain. Jika terjadi inflasi bahkan akan mendorong gairah produksi usaha rakyat terutama petani karena harga kita tentukan sendiri.
Kalau kita berhasil memproduksi makanan kita sendiri dan bahkan jika hasilnya dapat kita olah dan kemas dengan baik, maka kita akan mampu kuasai ekonomi negara lain melalui aktifitas eksportasi.
Bung Hatta dalam tulisanya bahkan menjelaskan strateginya untuk mencapai tujuan tersebut. Pertama, negara maju sebagai sumber import pangan kita selama ini, kita negosiasi.
Cara menegosiasikannya, kita tawarkan konsep substitusi import, namun dengan cara mengganti import barang jadi dengan import barang modal namun untuk dukung agar industri pangan kita maju, seperti alat alat pertanian dan juga pengolahan makanan.
Dengan strategi di atas, maka negara mitra tidak akan mempersoalkan karena keseimbangan neraca perdagangan pembandingnya dengan negara mitra tetap terjaga. Tidak ada yang dirugikan karena negara maju itu penghasil produk-produk mesin canggih di sektor pertanian.
Logikanya begini, kita punya negara mitra dagang, sebutlah China. Dari negara ini kita import makanan-makanan jadi banyak sekali. Lalu kita minta kurangi import makanan jadi itu namun dengan diplomasi memperbanyak import barang modal yang mendukung sektor pangan kita di dalam negeri, terutama untuk alat-alat pertanian canggih dan industri makanan rumahan.
Untuk ini, kalau perlu kita berikan insentif fiskal seperti pembebasan pajak bea masuk untuk import produk-produk mesin canggih atau kalau perlu disubsidi langsung dari sumber APBN.
Sebutlah kalau tadinya kita import jus dari China begitu banyak, kita turunkan. Kita perbanyak import mesin untuk membuat jus skala rumah tangga.
Tujuanya jelas, agar kita kurangi ketergantungan jus dari China dan secara perlahan petani buah-buahan kita menjadi bergairah untuk berproduksi untuk kebutuhan domestik dan bahkan surplusnya dapat kita eksport ke negara lain.
Secara diplomasi dagang kita tidak membuat rugi negara China. Karena kita hanya turunkan import makanan jadi, tapi menaikkan import barang modal. Tapi secara fundamental ekonomi, kita akan semakin kuat. Karena kita hasilkan makanan kita sendiri.
Kalaupun belum mampu kita eksport, kita punya keuntungan hemat devisa, meningkatkan kesejahteraan dan gairah petani dan masyarakat, ciptakan banyak pekerjaan untuk rakyat, dan yang pasti kita jadi lebih merdeka dan berdaulat.
Masalah yang kita hadapi seperti lonjakan harga minyak goreng dan naiknya harga tempe yang meresahkan rakyat saat ini tidak akan terjadi. Sebab kita tidak bergantung pada harga pasaran minyak CPO (Crude Palm Oil) yang harganya ditentukan pasaran dunia yang oligopolistik dan atau bergantung pada suplai kedelai dari Amerika Serikat yang pertahun 2021 importnya sebanyak 2,49 juta ton dan merupakan jenis kedelai GMO (Genetical Modified Organism) yang membahayakan bagi manusia, dimana di banyak negara telah dilarang untuk dikonsumsi.
Melalui strategi di atas, kita juga dengan sendirinya akan mampu tanggulangi mafia import pangan yang selama ini terus menjerat kita. Rakyat akan lebih makmur dan sejahtera.
Masalah ini sebetulnya adalah masalah politik. Ide di atas hanya bisa dilakukan jika kita punya pemimpin yang ideologis yang memang benar-benar mau membela kepentingan rakyat.
Ide di atas hanya bisa dilakukan oleh pemimpin pemimpin kita yang bukan hanya pentingkan isi perut sendiri yang mengambil keuntungan dari menjual rakyat sebagai pasar import, jual sumber daya alam dan jual buruh murah.
Mbak Megawati, Pemimpin Partai Demokrasi Perjuangan yang mengusung politik Trisakti dan punya petugas partai baik sebagai Presiden sampai dengan Gubernur dan Bupati/Walikota di banyak daerah tentu bisa disiplinkan kader-kadernya agar bela kepentingan rakyat dan kepentingan nasional.
Beliau dapat meminta kepada Pak Ganjar Pranowo sebagai salah satu petugas partai untuk bela petani sedulur sikep di Kendeng dan bukan bela pabrik tambang semen yang juga di pengadilan sudah kalah dan putusanya sudah inkracht (final).[***]
*) Ketua AKSES INDONESIA