Debat Sjafruddin vs Soemitro dalam Catatan Prof. Boediono - Telusur

Debat Sjafruddin vs Soemitro dalam Catatan Prof. Boediono

Mr. Sjafruddin Prawiranegara. (Ist).

Oleh Lukman Hakiem
(Editor buku Sjafruddin PrWiranefara Pemimpin Bangsa salam Pusaran Sejarah)

DALAM kapasitasnya sebagai Wakil Presiden RI (2009-2014), Prof. Dr. Boediono hadir dan memberi sambutan pada resepsi Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara di auditorium Bank Indonesia,pada 28 Februari 2011.

Meskipun tampil sebagai Wapres, tetapi Prof. Boediono menghindar dari tempat politik saat membahas Mr. Sjafruddin  Prof. Boediono lebih tampil sebagai ekonom yang ungkapan Boediono: "salah satu penerus Sjafruddin di bidang keuangan.

Secara khusus, Prof. Biediono mengungkapkan beberapa hal yang menurutnya benar-benar merupakan bagian "dari pembelajaran atau pembudayaan saya dalsm bidang yang saya tekuni: ekonomi dan keuangan. Juga sebagai pejabat pemerintah.

Independensi Bank Indonesia

SEMENJAK berlakunya Undang-undang No. 21/1953 tentang Penetapan Undang-undang Pokok Bank Indonesia pada 51 Juli 1953, De Javasche Bank berubah menjadi Bsnk Indonesia dengan Sjafruddin sebagai gubernur.

Ketika itu Sjafruddin menekankan pentingnya pemisahan Bank Sentral dari Pemerintah. Pemisahan tersebut dimaksudkan agar Bank Sentral dapat memiliki wewenang penuh untuk bekerja secara otonom di dalam pelaksanaan tugas sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.

Sjafruddin berpendapat, apabila kekuatan politik diberi ruang untuk menguasai sistem jeusnfan, maka hal tersebut akan mtembahsyakdn proses sirkulasi keuangan "Itu Kan membahayakan sirkulasi keuanga," tegas Sjafruddin.

Banyak hal mendasar dari debat Syafruddin versus Soemitro*

Kepada hadirin yang memenuhi auditorium BI dan menyimak pidato Wapres Boediono dengan saksama, Boediono mengaku, sebagai pembelajar ekonomi pada 1960-an, dirinya beruntung membaca perdebatan antara dua tokoh ekonomi kita: Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Dr. Soemitro Djojohadikysumo.

Menurut Boediono, banyak hal mendasar yang memberikan perspektif mengenai bagaimana kita harus mengelola ekonomi Indonesia.

"Ada perbedaan pendapat, tapi saya yakin ini bisa kita lihat dari kondisi-kondisi tertentu. "Daldm kondisi-kondisi tertentu, keduanya bisa benar," ujar Boediono

Masalah yang diperdebatkan ketika itu, menurut Boediono terkait dengan kebijakan benteng. Menurut Boediono, kebijakan benteng itu baik sekali untuk mendukung berkembangnya kemampuan ekonomi kaum pribumi. 

Saat itu Sjafruddin sudak mendeteksi kebijakan ysng baik itu tidak diterapkan dengan benar akan melahirkan *pengusaha Ali Baba". Saat itu  Sjafruddin sudah mendeteksi kemunculan pengusaha pencari rente.

Debat kedua mengenai seberapa jauh pemerintah  bisa mendorong ekonomi dengan melakukan anggaran yang defisit. Pengeluaran yang melebihi pemasukan. Di sini Dr. Soemitro dan Mr. Sjafruddin kembali berbeda pendapat. Sjafruddin ada di sisi yang hati-hati, konservatif, Soemitro ada di sisi yang lebih berani.

Bagi Boediono, keduanya bisa sama-sama benar, tergantung situasi yang dihadapi. Pada saat ekonomi kita sedang krisis, defisit anggaran yang agak longgar, bisa dilakukan.  Saat yang lebih normal, posisi Sjafruddin lebih benar 

"Ini hal-hal yang sangat fundamental yang merupakan bahan pelajaran bagi semua yang ingin belajar mengenai ekonomi Indonesia."

Tentang Industrialisasi

Dalam strategi industrialisasi, kembali Sjafruddin dan Soemitro berbeda pendapat. Menurut Sjafruddin, Jika mau melakukan industrialisasi harus berpihak kepada pertanian dan sumber daya yang kita punyai. 
Bagi Boediono, pandangan Sjafruddin itu adalah wisdom yang sampai sekarang masih tetap relevan bagi kita: Mr. Sjafruddin dan Dr. Soemitro 

Membangun Kembali Perekonomian Indonesia

Boediono mencatat, pada 1966 ada tulisan Mr. Sjafruddin yang sangat bagus, sangat jernih pemikirannya: Membangun Kembali Perekonomian Indonesia.

Pada saat buku itu diterbitkan, peralihan pemerintah dari Orde Lama ke Orde Baru tentu memerlukan konsep untuk membangun kembali ekonomi Indonesia. Banyak pemikiran Sjafruddin yang kemudian dipraktikkan oleh para pengambil kebijakan ekonomi Orde Baru. []


Tinggalkan Komentar