Demi Bangsa & Negara, Saatnya Mengembalikan Kedudukan & Wewenang MPR RI - Telusur

Demi Bangsa & Negara, Saatnya Mengembalikan Kedudukan & Wewenang MPR RI

Praktisi Hukum Agus Wijayanto SH. MH. Foto: Ist

telusur.co.id -

Oleh: Agus Widjajanto, Praktisi Hukum, Pemerhati Politik dan Sosial Budaya

MEMBACA berita Kompas com tertanggal 5 Juni 2024, yang memuat berita bertemunya mantan Ketua MPR Amin Rais dan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo di Gedung MPR RI, Senayan, dimana Amin Rais menyatakan sudah saatnya kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dikembalikan.

Dikembalikan seperti semula sebelum reformasi dengan menempatkan MPR sebagai Lembaga Negara Tertinggi. Amin kemudian menyatakan keputusannya mengamandemen UUD 1945 dalam perhitungannya agak naif. Saat itu, dalam perhitungannya jika Presiden dipilih langsung one man one vote akan menekan terjadinya money politics.

Menanggapi hal itu, perlu disampaikan dan digaris bawahi, saya ingat betul hasil diskusi dengan guru saya dalam diskusi bertiga dirumah beliau yakni Prof Dr I Gde Pantja Astawa SH MH. Guru Besar Hukum Unpad Bandung itu menyatakan benar bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum diubah dan di amandemen ) berbunyi : Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. 

Kedaulatan adalah ditangan rakyat mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, atau rakyat yang berdaulat, yang "supreme". Ketika kekuasaan tertinggi yang ada pada rakyat itu di-representasikan oleh atau di-institusionalisasikan ke lembaga negara yang namanya MPR, tidaklah berarti bahwa MPR menjadi Lembaga Negara Tertinggi. 

Mengapa ? Ajaran Konstitusi (constitutionalism) berujung pada pembatasan kekuasaan pemerintahan (limited government) dalam arti kata luas. Dalam hal ini konstitusilah yang membatasi kekuasaan seluruh organ atau lembaga negara yang ada tanpa memposisikan secara dikotomi : Tertinggi dan Tinggi. 

Semua lembaga dalam posisi equal, hanya wewenang yang secara atributif diberikan oleh konstitusi yang berbeda. Sesuai dalam Trias Politica dari Montesquie, teori kedaulatan dari John Locke dan juga Jacque Rosseau, dimanifestasikan ala budaya dan Demokrasi Asli Indonesia oleh para Pendiri Bangsa (founding father).

Pengertian Kedaulatan tetap ada ditangan rakyat, akan tetapi pelaksanaannya melalui sebuah lembaga perwakilan dalam pengambilan segala keputusan. Baik mengangkat presiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan wakil presiden, membuat dan menyusun GBHN, yang tidak mungkin 270 juta rakyat membuat sebuah peraturan ketatanegaraan dan mengangkat serta memberhentikan presiden serentak berbondong bondong berkumpul, dalam satu tempat. 

Jadi pengertian sebagai Lembaga Negara Tertinggi jangan dimaknai dan disalah tafsirkan seperti saat lahirnya reformasi, dimana kekuasaan tertinggi ada di sebuah lembaga yang bisa dimanipulasi dengan kekuatan politik. Baik politik uang maupun politik kepentingan golongan dan kekuasaan. Akan tetapi pada hakekatnya tetap ada ditangan rakyat.

Untuk bisa memahani hal itu maka harus mempelajari sejarah terbentuknya Negara. Baik sebelum persiapan kemerdekaan pada era tahun 1908 hingga 1928, terbentuknya BPUPKI dan PPKI, berlakunya secara kontitusional Pancasila dan UUD 1945 sebagai kontitusi tertulis pada tangga18 Agustus 1945, hingga pada tahun 1959 saat terjadinya Dekrit Presiden pada tanggal 5 juli 1959. Berikut pendapat Moh Yamin, Mr Soepomo dan Soekarno.

Apabila mempelajari dan memahami kontek sejarah serta latar belakang emosional yang melingkupi saat itu, maka yang bisa saya katakan sepertinya mustahil UUD 1945 yang begitu elegen dan karya luar biasa dari para kampiun dibidangnya dari Bapak Bapak Pendiri Bangsa kita, lalu secara gegabah dan jumawa melakukan amandemen hingga ke 4 kalinya. Ini pembelajaran sangat berharga bagi kita semua, kesalahan pada pundak diri kita semua. 

Jikalau dilakukan amandemen ke V (lima ) maka, alangkah bijak apabila hanya dilakukan perubahan terbatas menyangkut beberapa pasal. Baik mengurangi maupun menambah alinea yang berhubungan dengan soko guru berdirinya Negara ini yang tidak mungkin diubah, yang merupakan Dwi Tunggal antara kontitusi tertulis (UUD 1945) sebagai hukum dasar, dengan Dasar Negara Pancasila khususnya sila ke empat dari Pancasila.

Termasuk menyangkut kedudukan MPR tadi sebagai lembaga tertinggi yang merupakan representasi dari perwakilan kedaulatan rakyat. Sedangkan kedudukan lembaga lembaga yang terlanjur sudah ada, termasuk Mahkamah Kontitusi, setelah berdiri di era Reformasi, agar tidak terjadi kegoncangan yang bersifat dilematis dalam ketatanegaraan tetap harus dipertahankan .

Menanggapi pernyataan Ketua MPR Bambang Soesetyo, dalam konteks perubahan Konstitusi atau UUD, mudah atau sulitnya konstitusi itu diubah bukanlah terletak pada perubahan secara formal (formal amandement), - termasuk prosedur perubahannya, akan tetapi lebih terletak pada : "Apakah kekuatan sosial politik (dalam hal ini partai politik) yang ada merasa berpuas diri ataukah tidak terhadap konstitusinya". 

Contoh, pada masa pemerintahan Orde Baru semua kekuatan sosial politik yang ada (2 parpol dan 1 Golkar yang tidak mau disebut sebagai partai politik) dan menyeret institusi TNI dengan dwi fungsinya, apakah masih 'berpuas diri' karena pada ujungnya terjadi tarik menarik di pemerintahan dan di parlemen menyangkut amandemen ke lima ini yang mengembalikan kedudukan dan fungsi MPR.

Karena dulu pada tahun 1998, semua kekuatan sosial politik secara serentak menyanyikan lagu "constitutional reform", jadilah UUD 1945 genial the founding fathers kita. Apakah Ketua MPR sekarang Mas Bambang Soesetyo bisa mengatur antara partai-partai besar yang memiliki kursi signifikan di parlemen dari hasil pemilu legislatif tahun 2024 kemarin ?

Kalau seluruh kekuatan politik dalam hal ini ketua ketua partai besar sepakat untuk kembali lagi mengubah UUD 1945, hal ini bukanlah pekerjaan sulit bagi elit partai. Semua tergantung kemauan baik demi bangsa dan negara ini, bukan pertimbangan kepentingan.


Tinggalkan Komentar