Telusur.co.id - Oleh : Pangi Syarwi Chaniago (Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting)
Kita tidak boleh mundur kembali dari demokrasi, jalan demokrasi adalah pilihan rakyat Indonesia, bahwa demokrasi adalah satu satunya produk dari apa yang disebut reformasi, yang harus kita lakukan adalah memperjuangkan eksistensi demokrasi, menyelamatkan dan mensukseskan trayek demokrasi.
Sekarang demokrasi dalam keadaan bahaya, alarm demokrasi bunyi. Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi menerbitkan surat keputusan tentang hari dan tanggal pemungutan suara Pemilu Serentak Tahun 2024. Surat keputusan dengan nomor 21 Tahun 2022. Dalam surat tersebut KPU menetapkan tanggal pemungutan suara Pemilu 2024 diselenggarakan pada Rabu, 14 Februari 2024.
Pada saat yang sama tiba-tiba secara sistematis, keluar statement para ketua umum partai koalisi Golkar, PKB dan PAN, tonenya sama, menginginkan agar jadwal pemilu ditunda, apakah ini fenomena alamiah, siapa operator politik yang mendesainnya? Apakah dalangnya adalah kelompok basis kekuasaan para oligarki? aktor-aktor yang tidak menginginkan pestanya cepat berakhir, rencana jahat para oligarki membeli partai-partai politik demi melanggengkan kekuasaanya?
Legitimasi rakyat adalah daya tahan rezim berkuasa, kehilangan legitimasi dan tidak ada rezim yang dapat bertahan tanpa legitimasi rakyat, kalau rakyat menolak penundaan pemilu dan menolak penambahan masa jabatan presiden, itu sebetulnya sama dengan vitamin untuk memperkuat daya tahan tubuh, mengabaikannya adalah alarm bagi pemerintah yang berkuasa.
Penambahan masa jabatan presiden atau menundanya membutuhkan legitimasi “dukungan”atau paling tidak “persetujuan tanpa protes”. Apakah menunda dan menambah masa jabatan presiden mendapat persetujuan dari seluruh rakyat Indonesia?
Menunda pemilu mengakibatkan negara kehilangan kualitas demokrasi-nya. Yang berkuasa di Republik Indonesia adalah kuasa rakyat bukan kuasa para oligarki, kembali ke rakyat, negara tidak boleh tergelincir menjadi despotisme (sewenang-wenang). Regresi demokrasi juga ditandai dengan menunda pemilu dan menambah masa jabatan presiden.
Arus balik demokrasi yang kita khawatirkan, kemunduran demokrasi, kembali terjebak pada rezim otoriter, asumsi itu semakin menempel pada rezim pemerintahan saat ini, anasir presiden Jokowi sedang bermain dengan konfigurasi aktor politik (non) demokratis. Common enemy kita hari ini adalah kaum oligarki yang mau menghabisi demokrasi. Fenomena demokrasi pasca gelombang ketiga demokrasi (democracy’s third wave) menunjukan bahwa kemunduran demokrasi berada di tangan para politisi yang terpilih secara demokratis, didorong dan dibiayai dari kekayaan aktor-aktor oligarki.
Hasil survei Juli 2021, temuan Voxpol Center Research and Consulting sudah jauh-jauh hari berhasil memotret fenomena penolakan masyarakat dengan wacana “testing the water” tersebut. Dengan mengajukan pertanyaan kusioner, apakah bapak/ibu/saudara setuju jika masa jabatan presiden ditambah menjadi 3 periode? sebesar 73,7 persen responden menjawab tidak setuju.
Kita inzoom lagi, dari 73,7 persen yang tadinya menolak perpanjangan masa jabatan presiden; sebesar 34,4 persen (kemunduran demokrasi); sebesar 28,2 persen (regenerasi kepemimpinan mandeg); sebesar 9,9 persen (menghindari KKN dan oligarki); sebesar 8,7 persen (tidak mau menjadi pengkhianat demokrasi); sebesar 4,6 persen (ingin menjebak presiden).
Kapan sebuah negara dapat dikatakan menganut mazhab demokrasi? sehingga negara tersebut sempurna berdemokrasi. Salah satu karakteristik utama negara demokrasi menurut Samuel P. Huntington (1989), terjadinya pergantian kepemimpinan (presiden) secara teratur (periodik). Intinya demokrasi adalah cara-cara untuk menetapkan otoritas sekaligus juga membatasi otoritas kekuasaan presiden.
Pemilu (voting) sangat krusial di dalam instrumen demokrasi, dianggap sebagai kegiatan politis yang paling penting dan sangat esensial untuk diselenggarakan pemilu secara reguler (periodik) oleh negara yang menyebut dirinya demokratis.
Penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi negara, ini sama saja melawan otoritas dan mengacaukan siklus demokrasi yang membatasi masa jabatan rezim pemerintah berkuasa. SBY di akhir periode kedua pemerintahannya mengatakan selalu ada pilihan “mari kita wariskan kepada anak cucu kita dan generasi mendatang sebuah tatanan dan tradisi politik yang baik”.
Berkuasa adalah candu, akan tetapi jauh lebih berkelas mengakhiri masa jabatan presiden dengan happy ending.