telusur.co.id - Komisi VII DPR mendapat surat dari sekretariat mengenai aduan terkait dokumen izin tambang PT Bumi Muller Kalteng yang memiliki konsesi sebesar 300 hektare dan diberikan RKAB sebesar 300 ribu metric ton (MT).
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Haryadi dalam rapat kerja dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (21/11/23).
"Kami dapat surat ke Komisi, di Sekretariat. Saya berharap ini jangan sampai terjadi lagi seperti di Sulawesi Tenggara. Ini ada dugaan dokumen terbang atau penjualan dokumen lah istilah nya. Ini marak lagi terjadi. Jadi ada salah satu perusahaan. Ini (surat) tembusan saja saya, " kata Bambang.
"Jadi ada satu perusahaan di sini ada namanya PT Bumi Muller Kalteng. Dia memiliki konsesi sebesar 300 hektare dan diberikan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) sebesar 300 ribu metric ton (MT)," sambungnya.
Bambang memastikan, Panja Illegal Mining Komisi VII DPR akan menelusuri laporan dugaan dokumen ilegal ini, bahkan akan meninjau langsung ke lapangan.
Sebab, ada beberapa dugaan bahwa industri pertambangan yang mendapat izin, tidak sesuai dengan RKAB.
"Kami akan tinjau langsung. Misalnya tadi ada yang disebutkan, lokasinya tidak memungkinkan terjadi industri pertambangan di situ, air nya katanya dangkal. Nah, ini (di surat) hampir sama, ini dapat 300 ribu metric ton, ini sebenarnya kategorinya tambang menegah kecil, tapi kami kaget trading nya luar biasa, trading nya hampir 1 hari dia mengirim 1 tongkang," ujarnya.
Bambang pun mengaku heran, tambang ini masuk kategori tambang kecil, namun bisa mengirim tiap hari satu tongkang.
Selain itu, disampaikan dalam surat tersebut bahwa perusahaan ini berada di konsesi HGU orang lain. Akan tetapi, izinnya bisa keluar.
"Nah, ini proses pemberian RKAB nya gimana? Ada di HGU orang tapi bisa keluar RKAB. Harapan saya jangan terjadi lagi lah kayak Sultra. Ntar di ulik-ulik ada terjadi manipulasi atau proses tindak pidana korupsi di sini. Karena proses perizinan," tegasnya.
"Karena sistem perizinan adalah satu satu biang kerok. Saya diskusi dengan Pak Dirjen. Sampai kita bilang coba dilakukan koordinasi sistem supervisi dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya agar sistem itu benar-benar berjalan," tukasnya.[Fhr]