JIKA kita benar-benar belajar tentang politik secara teori, kita akan terkesima, setelah itu geleng-geleng, betapa mulia tujuan sebuah politik. Ini tidak berlaku bagi pelaku politik yang membuat bising telinga. Tidak semua sih pelaku politik itu jelek. Masih ada lah yang lebih kimak pengen rasanya kita timpuk dengan maki-makian ketika mereka berkampanye, karena narasinya jadul, sama seperti kampaye periode sebelumnya. Kata-kata seperti itu terlontar, lantaran kita saking kesalnya.
Dan janji kampanye nya jauh dari harapan akan diwujudkan. Jangankan memenuhi janji politik, ketika terpilih, untuk bertemu dalam rangka menyampaikan keluh kesah masyarakat, pintu kantornya seperti ditutup pakai gembok gede. Ada juga yang menerima secara baik, mempersilahkan masuk ke ruangan, mendengar permasalahan masyarakat, tapi itu tak ubah formalitas yang dipastikan hanya cari muka (carmuk). Hitung-hitung modal sosial supaya terpilih lagi.
Ada juga yang menindaklanjuti keluh kesah masyarakat hanya lewat media sosial. Karena hanya itu yang dia bisa. Minimal di perjuangkan lah, ya kan. Yang menutup pintu untuk bertemu ketika sudah terpilih, lagi-lagi pengen rasanya kita tusuk-tusuk fotonya di baliho yang bergelantungan di pohon seperti kelelawar setiap lima tahun sekali itu.
Beberapa waktu lalu saya sedang nongkrong dengan para senior (biar lebih sopan aja ketimbang menyebut orang-orang tua). Obrolannya tidak jauh dari dinamika politik. Apalagi, lembaga survei baru-baru ini silih berganti mengeluarkan hasil survei tentang nama-nama yang berpotensi maju pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024, dengan seabrek elektabilitasnya.
Banyaklah nama-nama yang elektabilitasnya bermacam-macam itu. Ada nama lama-baru. Berusia tua-muda, laki-perempuan. Bacalah sajalah di media nama-nama mereka, kalau saya tulis di sini nanti jadi panjang.
Kami mengobrol seolah menjadi analis politik ala pos kamling, di mulai dari siapa yang berpotensi menjadi presiden pada 2024 nanti, dari nama-nama yang beredar. Kadang juga membicarakan, presiden saat ini kok bisa menang Pilpres berturut-turut? kan bukan dari tokoh nasional? Siapa sosok pengendali dibelakangnya? (pasti pengawalnya, ya kan.).
Obrolan yang panjang saling bersahutan itu mengalir tidak mengenal waktu. Dari awalnya kopi satu gelas, menjadi bergelas-gelas, supaya mata tahan terjaga. Kalau nongkrong mata cepat tidur, bisa kena ejek kita. Kelelawar saja belum pulang ke sarang, masak jam 10 malam kita sudah ngantuk.
Obrolannya semula, apa sih yang membuat seorang calon kepala negara itu terpilih? apakah murni hanya jualan janji-janji politik saja, kemudian dia antitesa dari pemimpin sebelumnya, lalu dukungan rakyat atau apakah ada dukungan dan dukun-dukun lainnya yang juga terlibat? Ini bukan negara Barat, Bro. Rasional dan irasional berhimpitan. Dukungan dari masyarakat itu utama, perdukunan baik lewat sarana klenik, arahan tetua kampung, juga wajib diikuti, walau hati berontak. Mau terima atau tidak, itu urusan lain, pokoknya di lakoni. Kan mau terpilih. Tentu bagian ini, mungkin tidak masuk dalam pemberitaan di media massa.
Obrolan sambungannya, apakah pasar yang biasa tempat emak-emak kita berbelanja ada peranannya dalam kemenangan seorang calon presidenm, maksud saya pasar global. Enggak mungkin kan, pasar jualan sayur, beras, toge, ngendaliin calon pemimpin negara? Tapi kan pasar yang besar itu dimulai dari yang kecil.
Lalu, siapa yang mengendalikan pasar, kemudian yang berhak memutuskan memberi restu kepada salah satu yang diusung. Persoalan ini ada kaitannya dengan untung rugi, pastinya. Enggak mungkin juga emak-emak kita ketika ke pasar melakukan tawar-menawar barang lalu ujung-ujungnya minta gratis, bangkrut bossss tokonya.
Restu pasar global ini diikuti guyuran logistik tiada berseri atas sebuah dukungan kepada calon. Kompensasinya, ya apalagi kalau bukan bagi-bagi rezeki. Mulia sekali ya dukungannya. Tapi, bagi-bagi rezekinya dalam hal ini sumber daya alam (SDA) di daerah mana yang akan digarong ramai-ramai oleh pelaku pasar transnasional. Tanpa perlu memikirkan nasib masyarakat disekeliling sebuah proyek. Intinya timbal-balik atas sebuah kemenangan.
Sembari menghangatnya obrolan itu, saya kadang membayangkan, jika pasar yang berperan besar atas kemenangan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, pasti ada yang membuka pintu ke pengendali pasar itu.
Ibaratnya, kalau pasar-pasar rakyat di pinggir jalan, ada centeng-nya. Nah, siapa centeng yang membawa nama pasang capres-cawapres ke pasar internasional itu? Yang membuka pintu global pastinya juga dapat bagian. Enggak mungkin, kerja politik lillahi ta’ala, sedangkan kiri-kanannya berhamburan maraup keuntungan dalam sebuah kompetisi.
Soal ini, silahkan kita menganalisis masing-masing, siapa sosok yang sangat super berpengaruh di sebuah kekuasaan, yang sepertinya bisa mengedalikan kepala negara. Negara mana saja yang sangat mudah masuk ke negeri tercinta tanpa urusan berbelit-belit. Bahkan, tenaga kerja kasarnya gampang di ekspor ke negara yang dimenangkan itu. Misalnya, tukang bersih parit di pinggir jalan, gajinya lebih besar dari pekerja di dalam negeri.
Semua pasti punya jawaban dan analisisa masing-masing. Jawaban itu cukup diobrolkan di warung kopi, biar aman. Karena tidak ada CCTV pengintai. Ngobrolnya juga jadi lepas, tidak ada sekat pemisah diantara kita. Harus diwaspadai juga ada yang diam-diam merekam, nanti viral. Kan bahaya, kita jadi artis dadakan, terus masuk TV, tapi soal kasus. Dampaknya, siap-siap digebuk pakai ikat pigat oleh Emak yang menunggu di rumah. Karena keluarga juga kecipratan terkenal, mereka selalu diminta tanggapan, dan nama mereka selalu dimuat di media massa, gara-gara bacot anaknya.
Dan, di warung kopi kita juga bisa terang-terangan menyebut sosok di belakang pengendali kekuasaan. Bisa saja akan ada kesimpulan di akhir, oh ini toh pengedali kekuasaan? Saking berkuasanya, kita yang mungkin enak-enakan nongkrong depan istana sambil menikmati kopi starling sangat mudah dipaksa bubar karena dianggap menganggu ketertiban umum. Ya wajar sih dibubarin, nongkrongnya dihadiri ribuan orang. Itu namanya demo bukan nongkrong. [Tp]