telusur.co.id - Wakil Ketua DPD RI, Tamsil Linrung, menegaskan peran strategis Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam mengawal delapan pilar Asta Cita yang menjadi visi besar Presiden Prabowo Subianto. Hal ini disampaikan saat menjadi pembicara utama dalam Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin di Makassar.
Dalam pidatonya, Tamsil mengungkapkan bahwa Asta Cita telah mengangkat DPD dari sekadar institusi diskursif menjadi aktor substantif dalam desain ketatanegaraan. Menurutnya, delapan pilar Asta Cita bukanlah sekadar visi politik pusat, melainkan refleksi konkret dari jeritan aspirasi daerah yang selama ini terpinggirkan.
“DPD kini menjelma sebagai simpul vital yang menjembatani kepentingan lokal dan kebijakan nasional. Melalui Asta Cita, DPD tidak lagi sekadar menyuarakan aspirasi, tetapi mengartikulasikannya dalam kebijakan strategis yang berdampak langsung ke daerah,” ujar Tamsil.
Ia menyampaikan bahwa transformasi peran DPD kini menemukan momentumnya, seiring dengan arah baru yang ditawarkan Presiden Prabowo. Dalam konteks ini, Tamsil memperkenalkan gagasan yang telah dituangkan dalam bukunya Paradigma Baru: Ijtihad Senator Menata Arsitektur Demokrasi (2024), sebagai bentuk ikhtiar intelektual mereposisi DPD dalam sistem demokrasi Indonesia.
Tamsil juga menyoroti sejumlah capaian konkret DPD, seperti intervensi terhadap pengurangan penyalahgunaan Dana Desa hingga 20% di 12 provinsi (berdasarkan laporan Ombudsman 2023), serta keberhasilan mendorong empat RUU ke dalam Prolegnas—dua di antaranya RUU Pengelolaan Perubahan Iklim dan RUU Masyarakat Hukum Adat, yang relevan dengan pilar keberlanjutan dan keadilan sosial dalam Asta Cita.
“DPD tidak lagi sayup di pinggiran meja kebijakan. Kini, ia berdiri di tengah gelanggang, bersuara dalam bahasa kebangsaan yang utuh,” tegas Tamsil.
Mengutip teori deliberatif Jürgen Habermas dan prinsip keadilan distributif John Rawls, Tamsil menekankan pentingnya DPD sebagai ruang dialog antara pusat dan daerah dalam menjaga harmoni kebijakan. Dalam semangat desentralisasi yang inklusif, DPD diyakini mampu menjadi penyeimbang sistemik dan katalis pembangunan yang merata.
Menutup pidatonya, Tamsil menekankan bahwa DPD dan Asta Cita harus menjadi penawar atas luka lama bangsa, yakni ketimpangan pembangunan antarwilayah. Ia mencontohkan disparitas Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antara Papua (60,84) dan DKI Jakarta (80,77) sebagai potret ketimpangan yang harus diselesaikan dengan pendekatan kolaboratif antara pusat dan daerah.
“Delapan pilar Asta Cita adalah ruh dari aspirasi daerah yang telah lama terpendam, dan DPD adalah nafas yang menghidupkannya di panggung politik nasional,” tutupnya.