Dilema Moral dan Ekonomi: Kontroversi Legalisasi Judi Melalui Cukai - Telusur

Dilema Moral dan Ekonomi: Kontroversi Legalisasi Judi Melalui Cukai


Telusur.co.id -Penulis: Jakat Kerani, mahasiswa Universitas Indonesia

Sejak Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu menyinggung judi online sebagai potensi perpajakan, gaung judi kembali bergemuruh di masyarakat.  Judi khususnya judi online serta gim daring saat ini memang tengah digandrungi masyarakat, sehingga ia menilai aktivitas underground economy ini memiliki potensi penerimaan yang sangat besar bagi negara.

Tentu saja perkataan Wamenkeu itu menimbulkan kontra dari sebagian besar masyarakat dan para ahli. Hal tersebut bukan tanpa dasar, pasalnya judi tertera sebagai aktivitas pidana yang telah diatur dalam Pasal 303 KUHP. Beberapa ahli mengatakan, memajaki judi berarti melegalkan judi itu sendiri. Bahkan judi telah memakan banyak korban dan permasalahan sosial. 

Walaupun belakangan ini judi online sedang ramai di kalangan masyarakat, nyatanya judi telah lama eksis di Indonesia. Judi telah ada sejak era kolonialisme dan telah menjadi budaya di masyarakat Indonesia, sehingga sulit menghapus judi secara tuntas dari masyarakat. 

Dalam kebudayaan Cina Benteng yang ada Indonesia, judi seringkali dilakukan pada pesta perkawinan dan perkabungan. Judi pada etnis Cina Benteng dilakukan untuk menolong pihak pemilik pesta, dimana hasil dari perjudian akan disumbangkan ke keluarga yang memiliki pesta. Namun, sairing perkembangan zaman tujuan judi telah berubah. Kerapkali judi dijadikan alat untuk memperoleh kekayaan secara instan. Hal tersebut menunjukkan adanya degradasi kultural.

Pada era Pemerintahan Hindia Belanda, judi juga dilegalkan di wilayah Batavia. Terdapat beberapa permainan judi seperti capjiki, sikia, dan judi angkong. Serta terdapat judi lotere pada abad ke-19, dimana Pemerintah Hindia Belanda memungut pajak atas judi lotere tersebut. Namun, tidak semua orang saat itu bisa bermain judi. Hanya kalangan atas yang dapat melakukan judi, karena lotere yang digunakan berharga sangat mahal.

Kemudian, pada masa Orde Baru permainan yang mirip judi juga dilegalkan. Permainan tersebut dikenal dengan nama porkas. Porkas merupakan undian atau lotere berhadiah atas tebakan hasil pertandingan sepak bola galatama. Porkas saat itu sangat laris di kalangan masyarakat, bahkan penghasilan porkas digunakan oleh pemerintah untuk pendanaan penyelenggaraan olahraga sepak bola.  

Tidak sampai disitu, pada era Gubernur Ali Sadikin, Pemerintah DKI Jakarta mendirikan kawasan-kawasan untuk tujuan aktivitas perjudian. Aktivitas perjudian saat itu dimanfaatkan oleh Ali Sadikin untuk memungut pajak. Pemungutan pajak tersebut dilakukan untuk menambal defisit anggaran DKI Jakarta. Alhasil, melalui pungutan pajak judi itu, Ali Sadikin sukses besar dalam menjalankan program-program kerjanya. 

Setelah melihat fenomena lampau tersebut, judi secara efektif dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam hal pendanaan. Lalu, bagaimana negara lain menyikapi judi sebagai potensi pemajakan?

Oleh beberapa negara, judi dilegalkan namun dengan catatan aktivitas ini harus dibatasi. Judi perlu dibatasi dikarenakan judi dapat berdampak buruk terhadap sosial dan individu itu sendiri. Oleh karenanya, di beberapa negara aktivitas perjudian dikenakan cukai atau ‘sin tax’. Sin tax yang diartikan sebagai pajak dosa dapat dimaknai sebagai cukai yang dikenakan atas barang dan/atau jasa yang dianggap berbahaya bagi masyarakat. Menurut IBFD International Tax Glossary (2015), sin tax dirancang untuk mencegah aktivitas tertentu daripada meningkatkan pendapatan. 

Cukai Judi di Amerika Serikat

Amerika Serikat (AS) merupakan salah satu negara yang memungut pajak atas perjudian. Pajak perjudian di AS dikenakan atas lotere, kasino, dan taruhan olahraga. AS pada tahun 2021 berhasil mengumpulkan $35 miliar setara 504 triliun rupiah (rata-rata kurs 2021) yang berasal dari pajak judi. Pengenaan pajak judi di AS dilakukan oleh pemerintah federal dan pemerintah negara bagian. Untuk pajak federal, terdapat dua jenis pemotongan pajak, yakni pemotongan pajak perjudian reguler sebesar 24% (atau 31,58% untuk pembayaran non-tunai tertentu) dan pemotongan pajak tambahan sebesar 24%. Sedangkan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah negara bagian dilakukan dengan tarif yang bervariasi, mulai dari 6.75% hingga 51%. Selain pungutan atas pajak judi, bagi bandar judi di AS, wajib menyetorkan $10 juta saat pendaftaran serta perpanjangan izin sebesar $250.000 setiap lima tahun.

Cukai Judi di Singapura

Singapura sebagai negara tetangga Indonesia, ternyata juga telah melegalkan judi dan melakukan pemungutan ‘sin tax’ atas aktivitas ini. Pungutan di Singapura atas judi dilakukan dalam bentuk bea (gambling duty). Terdapat tujuh aktivitas judi yang dikenakan bea oleh Pemerintah Singapura, diantaranya adalah taruhan totalisator pacuan kuda, judi olahraga, pacuan kuda campuran, taruhan totalisator lainnya, taruhan umum, lotere, dan undian. Perhitungan bea perjudian di Singapura diatur sebagai berikut:

Kegiatan perjudian

Metode penghitungan bea perjudian

Taruhan totalisator pacuan kuda

25% x (Jumlah taruhan diterima - GST*)

Judi olahraga (sepak bola, balap motor)

25% x (Jumlah taruhan diterima - Kemenangan yang dibayarkan - GST*)

Pacuan kuda percampuran

25% x (Jumlah taruhan diambil - GST*)

Taruhan totalisator lainnya (misal: parimutuel sepak bola)

30% x (Jumlah taruhan diterima - GST*)

Taruhan umum

30% x (Jumlah taruhan diterima - GST*)

Lotere (misal: 4D, TOTO, Singapore Sweep)

30% x (Jumlah taruhan diterima - GST*)

Undian

30% x (Jumlah yang disumbangkan untuk undian - GST*)

*GST = 9/109 x (jumlah yang diterima - kemenangan yang dibayarkan)

Sumber: Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS)

Pemotongan akan dilakukan oleh bandar dan promotor lotere resmi, kemudian mereka membayarkan bea perjudian kepada Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. 

Melihat kedua negara tersebut menerapkan sin tax atas aktivitas perjudian, apakah mungkin pemungutan cukai atas judi dilakukan di Indonesia?

Memungut cukai atas judi berarti melegalkan aktivitas tersebut di Indonesia. Melegalkan aktivitas judi ini bukan suatu hal yang tidak mungkin. Pendekatan yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengatur kegiatan judi adalah melalui pendekatan psikologi reaktansi. Psikologi reaktansi merupakan fenomena dimana orang akan termotivasi melakukan tindakan yang berlawanan dengan apa yang dilarang atau dibatasi. Psikologi reaktansi sangat mirip dengan fenomena judi online di Indonesia, dimana semakin dilarang aktivitas ini oleh pemerintah maka pemain akan melakukan berbagai cara untuk berjudi. 

Fenomena judi dapat diredam dengan harm reduction, dimana pemerintah harusnya lebih berfokus meminimalkan dampak negatif ketimbang berusaha sepenuhnya melarang perilaku judi. Dalam menerapkan cukai atas judi, sebaiknya penerapan harus dibatasi. Pembatasan dapat dilakukan seperti dilakukan pada era Pemerintahan Hindia Belanda, dimana untuk berjudi seseorang harus membeli lotere yang harganya sangat mahal, sehingga hanya orang-orang kaya yang mampu membeli lotere yang dapat berjudi. Selanjutnya, pembangunan tempat-tempat berjudi tidak boleh secara bebas didirikan. Pendirian tempat berjudi harus jauh dari kawasan permukiman, tempat ibadah, lokasi tertutup, serta tidak mudah didatangi masyarakat berpenghasilan kecil. 

Besarnya nominal money outflow ke luar negeri akibat masyarakat yang mengikuti judi online secara ilegal akan berdampak buruk terhadap perputaran uang. Selain itu, judi online yang diselenggarakan di luar negeri akan menjadi penerimaan negara lain, sedangkan di dalam negeri tidak terdapat manfaat ekonomi. Dengan dilegalkannya judi di dalam negeri, pemain tidak perlu mempertaruhkan uang mereka ke luar negeri, sehingga perputaran uang akan tetap berada di dalam negeri. Selain itu, terbukanya tempat-tempat perjudian akan membuka aktivitas ekonomi baru dan penciptaan lapangan pekerjaan baru. 

Namun, legalisasi judi nampaknya akan sangat alot di masyarakat. Mengingat doktrin dan paham yang sangat negatif mengenai aktivitas perjudian. Permasalahan judi sangat erat dengan efek negatif terhadap sosial masyarakat. Bahkan angka kemiskinan, kekerasan rumah tangga, dan kematian terus meningkat akibat aktvitas judi online. 

Oleh karena itu, legalisasi judi akan menjadi dua bilah mata pisau. Apabila terimplementasi dengan baik, penerimaan cukai judi akan sangat positif terhadap penerimaan negara dan mengurangi perilaku ilegal masyarakat yang tidak terkendali. Sedangkan apabila tidak dirumuskan dengan baik, implementasi ini akan berujung pada penyalahgunaan dan kegagalan penerapan pembatasan. Fenomena judi harus dipertimbangkan secara matang baik dari sisi ekonomi maupun sosial. 


Tinggalkan Komentar