telusur.co.id -

Oleh : Agus Widjajanto, Praktisi Hukum,Pemerhati Politik,Sosial Budaya.

Fenomena yang terjadi akhir akhir ini dalam penegakan hukum di Indonesia , khusus nya dalam proses peradilan pidana , banyak kasus  direksi dari Anak dan Cucu Usaha dari BUMN ( Badan Usaha Milik Negara ) dituntut di meja hijau dan diproses oleh Aparat Penegak hukum baik KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) maupun Kejaksaan Agung , dalam tindak pidana korupsi . 

Padahal Anak usaha dan cucu usaha dari BUMN bukan lah perusahaan milik negara, yang pembentukannya bukan mengacu pada Undang Undang dan peraturan pemerintah ( PP ) akan tetapi pembentukannya mengacu pada Akte notaris yang tunduk pada aturan Perseroan Terbatas. Hal ini harus menjadi perhatian bagi semua pihak , baik para Akademisi, Para pejabat negara dalam pemerintahan , Aparat Penegak hukum , baik di kepolisian , kejaksaan maupun pada lembaga Rasuah anti korupsi, dimana harus mendapatkan sebuah pemahaman yang komprehensif , agar para direksi dan Komisaris pada Anak usaha dan Cucu Usaha dari BUMN , berani mengambil keputusan dan tenang dalam menjalankan usahanya tidak lagi dibayang Bayangi akan dijerat secara hukum  dalam proses tindak pidana korupsi . Dan sekaligus sebagai Edukasi bagi mahasiswa hukum, masyarakat umum , akan pengetahuan hukum menyangkut hal tersebut . 

Dalam proses praperadilan yang digelar oleh pengadilan negeri Jakarta Selatan , dalam perkara permohonan praperadilan oleh seorang Head of Finance ( Manager Keuangan ) dari salah satu cucu usaha dari BUMN yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta , atas atensi dan instruksi dari Kejaksaan Agung RI, terungkap : 

 - Ahli Hukum Administrasi Negara, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH.,MH, menegaskan bahwa anak dan cucu dari Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara hukum tidak termasuk BUMN. Hal itu sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. 
Dalam pasal itu, disebutkan BUMN adalah 'Badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan  secara langsung dari kekayaan negara yang dipisahkan'. Sementara anak dan cucu Perusahaan yang dimiliki BUMN, sahamnya tidak dimiliki oleh Negara, melainkan dimiliki oleh BUMN itu.
Hal itu ditegaskan Guru Besar senior dari Universitas Padjajaran Bandung (Unpad) itu menjawab pertanyaan kuasa hukum tersangka CSY, Rabu, 23 Oktober 2024 dalam sidang gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. 
CSY mengajukan permohonan praperadilan melalui tim kuasa hukumnya dari Kantor Pengacara Agus Widjajanto & Partners terhadap Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta terkait penetapan dirinya sebagai tersangka.
Mantan Head of Finance PT Indofarma Global Medika (IGM), anak usaha dari PT Indofarma Tbk,
ditetapkan tersangka  dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan PT Indofarma Tbk dan Anak Perusahaan Tahun 2020-2023.
Seperti diketahui, CSY, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati DKI Jakarta bersama eks Direktur Utama PT Indofarma, Arief Pramuhanto (AP) dan eks  Direktur PT Indofarma Global Medika (PT IGM), Gigik S Raharjo (GSR).
"Anak dan cucu perusahaan BUMN merupakan badan usaha dan badan hukum perdata tersendiri serta terpisah secara hukum dengan induknya, karena memiliki regulasi, tata kelola, resiko, dan kewajibannya sendiri, yang berbeda dengan BUMN dan Negara secara keseluruhan," jelas ahli dari pihak pemohon praperadilan. 

Guru Besar paling  senior dari   Unpad ini menyatakan, anak dan cucu perusahaan BUMN merupakan badan usaha dan badan hukum perdata tersendiri yang terpisah secara hukum dengan induknya, maka anak dan cucu perusahaan BUMN tunduk sepenuhnya pada ketentuan dan prinsip dalam UU No. 40 / 2007 tentang Perseroan Terbatas. 
Selain itu, modalnya tidak berasal dari Negara dan tidak pula dimiliki oleh Negara, sehingga tidak termasuk BUMN. 
Prof. Pantja Astawa menegaskan bahwa, tidak terdapat kekayaan Negara yang dipisahkan yang dibuktikan dengan adanya Peraturan Pemerintah yang menetapkan pemberian modal Negara kepada perusahaan tersebut. 
Hal itu terlihat jelas dalam Akta Pendirian anak dan cucu perusahaan BUMN, dimana tidak terdapat pernyataan bahwa modal yang ditanamkan dan diambil bagiannya sebagai saham dalam perusahaan tersebut, merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan atau kekayaan BUMN yang kemudian diteruskan sebagai modal.
"Secara hukum, untuk menunjukkan suatu anak dan cucu perusahaan BUMN, saham atau modalnya dimiliki sebagian atau seluruhnya oleh Negara, adalah dengan pencantuman nama 'PERSERO' di belakang nama anak dan cucu perusahaan BUMN," jelasnya. 
Dengan demikian, kata Prof Gde Pantja, tidak ada relevansinya dengan Kerugian Negara, karena memang tidak ada keuangan Negara atau kekayaan Negara yang berasal dari APBN yang dipisahkan, baik dalam bentuk modal usaha maupun dalam bentuk saham. 
"Kerugian yang terjadi dalam usaha anak dan cucu perusahaan BUMN, boleh jadi karena mismanagement atau karena business loss," lanjutnya. 
Terlepas dari faktor – faktor yang menjadi penyebab timbulnya kerugian, maka penyelesaiannya adalah bahwa Direksi harus mempertanggungjawabkan dalam forum RUPS dengan merujuk pada prinsip atau  asas Business Judgment Rules sebagaimana dinormativisasi dalam ketentuan Pasal 97 ayat (5) UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pakar Hukum Administrasi Negara asal Bali ini berpendapat, penetapan CSY, Head of Finance PT IGM yang merupakan anak usaha dari PT Indofarma Tbk sebagai tersangka  oleh Kejati DKI Jakarta tidak beralasan secara hukum. Sebab tidak ada keuangan Negara ataupun kekayaan Negara yang dipisahkan yang digunakan sebagai modal usaha maupun yang berbentuk saham dalam anak dan cucu perusahaan BUMN.
"Dalam konteks ini, jelas dan nyata terjadi pelanggaran HAM, menyangkut hak – hak dalam proses hukum serta tidak ada hak – hak yang didengar sesuai dengan asas Audi et Alteram Partem (mendengarkan dua belah pihak)," ungkap Prof. Pantja Astawa. 


Sementara itu Ahli hukum  Pidana dari  Universitas Trisakti Jakarta,  Dr. Maria Silvya Elisabeth Wangga, SH., MH.,   dalam pendapatnya dalam persidangan sebagai ahli hukum pidana  mengatakan, due process of law lahir dari pengakuan HAM sebagai tercantum dalam magna carta. Proses peradilan harus dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan dengan tidak membeda-bedakan. 
"Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan bebas, memiliki asas praduga tidak bersalah, dan didampingi penasehat hukum. Sehingga ketika tidak didampingi penasehat hukum dalam pemeriksaan, maka itu bertentangan due process of law. Jadi adanya pelanggaran prosedur," ungkapnya. 
Lebih lanjut ahli yang diajukan pemohon praperadilan ini mengatakan, merujuk KUHAP mengenai hak tersangka, ketika dimulainya penyidikan sebagaimana Putusan MK 130/2014, penyidik wajib memberitahukan SPDP kepada pelapor, korban, dan terlapor dalam waktu 7 hari sejak penyidikan. Sebelum diperiksa sebagai tersangka, terlapor atau calon tersangka harus diberi tahu terlebih dahulu sebagai calon tersangka yang kegunaannya untuk menyiapkan pembelaan. 
"Jika proses tersebut terlewatkan, maka diajukan praperadilan. Jika penetapan tersangka atau pemeriksaan tersangka yang tidak sesuai dengan prosedur, maka itu mengandung kecacatan," tegas Dr. Maria Silvya.
Lebih lanjut dikatakan, KUHAP berlaku untuk semua sistem peradilan pidana, bukan hanya dalam delik pidana umum, tapi juga lex specialis dalam tindak pidana korupsi, yang mana hak tersangka diberikan sejak dari pemeriksaan saksi.  Menurut Dr. Maria Silvya, BAP (Berita Acara Pemeriksaan) paling krusial justru saat pemeriksaan saksi dan harus didampingi penasihat hukum, agar tidak ada tekanan, jebakan, intimidasi dan itu bagian dari  due proces of law, suatu rangkaian peristiwa yang tidak bisa terpisahkan termasuk penerapan pasal dan Undang Undang. “Jika salah, sudah layak untuk diuji di praperadilan, karena MK sendiri dalam putusanya memberikan kesempatan frasa baru dalam kewenangan praperadilan,” pungkas Dr. Maria Silvya.  Pengertian calon tersangka dalam hal ini , adalah harus diberitahukan secara verbal maupun  formal  bahwa akan ditetapkan sebagai calon tersangka mengingat sudah terpenuhi nya dua alat bukti, dimana agar dari Calon tersangka tersebut bisa mempersiapkan diri termasuk menunjuk seorang penasihat hukum , apabila ada pendapat pemanggilan sebagai saksi berkali kali katakan lah tiga kali hak itu dianggap sebagai proses Calon tersangka, adalah tidak tepat, karena tidak semua saksi nanti nya ditetapkan sebagai tersangka , oleh sebab itu sesuai Due Process of law , seseorang yang dipanggil sebagai saksi harus mendapat bantuan hukum didampingi kuasa hukum, sebagai perlindungan atas hak asasi dari calon tersangka tersebut dalam proses tindak pidana yang merupakan bagian  proses dari sistem peradilan Pidana . 

Demikian lah penulis berikan pemahaman agar bisa dijadikan pengetahuan umum bagi masyarakat , Para direksi BUMN dan anak cucu dari BUMN, para penegak hukum baik di Kejaksaan Agung beserta jajaran dibawahnya, Bareskrim Mabes Polri dan Lembaga anti Rasuah dari KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi )