telusur.co.id - Salah satu kegiatan wajib yang harus dilakukan dosen adalah Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM), oleh karenanya Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (FH UWKS) melaksanakan kegiatan Penyuluhan hukum di Desa Persiapan Blongas, Kecamatan Sekotong, Kab. Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai bentuk pengabdian seorang dosen bagi masyarakat.
Alasan dipilih tema tersebut dikarenakan mitra pengabdian yaitu Desa Persiapan Blongas ditemukan masih banyak adanya perkawinan dini sehingga tema yang dibawakan oleh tim pengabdi disiapkan agar dapat membantu pemerintah desa setempat dalam mensosialisasikan mengenai dampak dari perkawinan dini dalam perspektif hukum perkawinan di Indonesia. Adapun jumlah peserta yang hadir dalam kegiatan tersebut sebanyak 50 orang warga Desa Persiapan Blongas. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Rabu, 5 Juni 2024.
Adapun tim pengabdi dalam kegiatan tersebut yaitu :
1. Dr. Raden Besse Kartoningrat, S.H., M.H.
2. Isetyowati Andayani, S.H., M.H.
3. Sudahnan, S.H., M.Hum.
Dalam Penyuluhan hukumnya Raden Besse Kartoningrat menjelaskan bahwa, kegiatan ini dimaksudkan untuk membantu pemerintah desa lokasi penyuluhan dalam mensosialisasikan aturan-aturan hukum terkait perkawinan dini, dan tentunya membantu masyarakat agar lebih paham mengenai dampak dari perkawinan dini tersebut. Sehingga tugas sebagai dosen dalam memberikan keilmuannya bagi masyarakat juga terpenuhi dengan adanya kegiatan ini.
“Perkawinan dalam Pasal 2 UU 1/1974 adalah Sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (1) UU 16/2019 tentang Perkawinan juga mengatur batas usia minimal seseorang boleh menikah untuk laki-laki dan perempuan yaitu pada usia 19 tahun. Sehingga jelas bahwa perkawinan usia dini atau bisa dikatakan usia anak tentunya harus dilarang oleh hukum, mengingat aturan mengenai usia minimal kawin tersebut dibuat dengan pertimbangan mengurangi dampak dari anak yang menikah yang mana dampaknya tidak hanya secara kesehatan fisik saja namun juga dampak psikologis baik bagi orang tua yang masih usia anak maupun bayi yang akan dilahirkan oleh pasangan yang masih usia anak tersebut,” tegas Besse.
Isetyowati Andayani menambahkan bahwa, angka perkawinan dini ini bukan hanya masalah di Desa Persiapan Blogas secara khusus namun ini juga menjadi masalah Indonesia secara umum mengingat jumlah perkawinan dini di beberapa wilayah Indonesia juga banyak.
Sementara, Sudahnan menjelaskan bahwa, salah satu faktor pendorong adanya perkawinan dini ini adalah adat istiadat setempat. Dimana memang beberapa adat di Indonesia ini masih ada perjodohan dan sebagainya sehingga hal itu juga membawa pengaruh adanya perkawinan dini ini.
“Penyuluhan hukum ini semoga menjadi manfaat bagi masyarakat dan bagi tim pengabdi juga menjadi sarana berbagi ilmu dan manfaat bagi sesama manusia,” harap Sudahnan. (ari)