telusur.co.id - DPD RI akan terus mengawal agar kehidupan berbangsa dan bernegara tetap berada pada jalur Pancasila dan UUD 45. DPD RI akan terus mengajak seluruh elemen bangsa untuk melakukan konsensus nasional dengan cara kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 naskah asli, kembali kepada sistem kenegaraan yang telah dirumuskan oleh pendiri bangsa dengan penyempurnaan untuk semakin memperkuat konstitusi asli Indonesia tersebut.
“Utamanya ini merupakan sebuah kesepakatan atau konsensus nasional. Kita yang hadir disini terdiri dari berbagai komponen yang memiliki peran masing-masing. Kita akan mengawal agar kehidupan berbangsa dan bernegara tetap pada jalur Pancasila dan UUD 45, jangan pakai yang lain,” kata Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono usai menghadiri acara Silaturahmi Kebangsaan bertema "Menakar Konsekuensi Kenegaraan Terhadap Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat" di Nusantara IV Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (23/5/23).
Dalam acara tersebut, Nono menjelaskan bahwa terdapat 12 rekomendasi pelanggaran HAM berat yang ditetapkan oleh Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP-HAM) yang dibentuk presiden. Namun dirinya menyoroti terkait rekomendasi pertama yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi di rentang tahun 1965-1966.
“Kita melihat yang (rekomendasi) nomor 1 kaitannya dengan peristiwa tahun 1965-1966 (G30S/PKI). Ini sangat sensitif karena kaitannya dengan peristiwa sejarah kita dan generasi yang mengalami peristiwa itu. Di situ dikatakan Inpres dalam rangka memberikan rehabilitas terhadap korban. Nah pertanyaannya korban yang mana? Kalau kita tarik peristiwa G30 SPKI ini sebuah catatan sejarah dan pemberontakan bersenjata yang harus ditumpas oleh negara,” ucapnya.
Menurutnya, akan menjadi persoalan jika terdapat anggapan bahwa negara telah melakukan pelanggaran HAM berat terhadap korban PKI tahun 1965-1966. Karena menurutnya, sejak berdiri tahun 1917, PKI telah melakukan tiga kali gerakan pemberontakan.
“Pertama di tahun 1926, kedua pemberontakan Madiun di tahun 1948, dan terakhir pemberontakan G30S/PKI,” jelasnya.
Nono pun mengatakan, meski keberadaannya telah dilarang melalui TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, keberadaan sisa-sisa PKI atau komunisme diindikasi masih ada di Indonesia. Menurutnya, saat ini komunisme memiliki wajah baru yang memiliki beberapa ciri. Seperti menempel pada kekuasaan, pandai membersihkan diri, menggunakan politik adu domba dan meminta kepada pihak lain meminta maaf dan mengganti rugi kepadanya.
"Nah, ini yang terjadi sekarang. PKI telah bergerak mendorong pihak lain untuk meminta maaf dan memberikan kompensasi melalui Inpres ini. Posisi DPD RI adalah bagaimana TAP MPRS No. 25/1966 tetap menjadi payung hukum dalam rangka menghadapi ancaman bahaya laten komunis," kata Nono. [Tp]