Oleh: Suroto
Sebelum pandemi persis ketika saya kunjungi gedung Parlemen (DPR) di Ottawa, Kanada, agak sedikit terkaget. Ternyata sebagai turis saya boleh masuk ke gedung dan mengambil foto di beberapa sudut di dalam gedung.
Gedung DPR yang tak berpagar pembatas itu ternyata hanya akan dijaga dua orang Satpam di depan pintu masuk setelah jam 4 sore. Demikian juga dengan gedung Perdana Menterinya, tanpa pagar juga.
Bandingkan dengan gedung Parlemen dan kantor Presiden kita? Selain kamu akan diperiksa macam-macam dan bertingkat-tingkat, dari satpam di depan, di dalam, masuk ke gedung milik rakyat itu seperti masuk ke sebuah ruang steril dan harus jelas tujuanya.
Dalam obrolan piknik, sahabat Kanada saya bertanya, di Indonesia anggota Parlemen (DPR) itu sebagai profesi atau bukan? Saya agak kaget dengan pertanyaan ini. Agak kurang mengerti maksudnya. Tapi setelah mendapat penjelasan dari teman saya barulah mengerti.
Ternyata anggota parlemen di Kanada itu bukan sebagai profesi. Pekerjaan sehari-hari anggota parlemen itu boleh saja seorang bakul ayam, tukang becak, petani sayur, peternak kambing, atau apapun. Mereka datang ke gedung parlemen juga hanya pada musim legislasi.
Mereka datang membawa agenda legislasi atau pembahasan undang-undang ke gedung parlemen apabila ada hal yang mengganggu, menghambat atau merugikan mereka sebagai rakyat biasa dan lalu mereka tuangkan dalam bentuk usulan draft undang-undang atau perbaikan undang-undang dengan cara dikonsultasikan dengan para pakar di bidangnya di Kampus. Dibuatkan kajian akademiknya, lalu baru dijadwalkan untuk di sidangkan di sekretariat parlemen.
Anggota Parlemen adalah advokat atau pembela rakyat riil. Mereka adalah jelata yang hidup sehari-harinya bersama rakyat dan datang ke gedung parlemen hanya membawa aspirasi rakyat dan jadi duta rakyat atau wakil rakyat. Hanya membawa awak dan sikil, badan dan kaki rakyat ke gedung parlemen. Mereka hanya menyerap apa yang jadi kemauan rakyat, bukan beropini sendiri. Jadi kualitas legislasinya begitu terasa betul manfaatnya buat rakyat.
Satu hal lagi yang menarik adalah anggota parlemen itu tidak punya hak budget atau penganggaran. Hak penganggaran fiskal untuk pembangunan itu hak pemerintah sepenuhnya. Jadi anggota parlemen itu total hanya menjadi pengawas pelaksanaan anggaran.
Mereka akan bersuara atau bicara apabila ada pelaksanaan anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukkanya. Apalagi dikorupsi oleh eksekutif (presiden, menteri-menteri dan lain-lain).
Semua yang terjadi sangat jauh sekali dengan yang terjadi di Indonesia bukan? Di negeri ini yang namanya anggota Parlemen itu sudah seperti profesi. Gaji dan fasilitasnya sangat besar sekali dan mereka kartu namanya sudah seperti surat sakti.
Mereka bisa beropini jauh dari aspirasi rakyat. Bahkan sudah terlalu sering kita dengar suara anggota parlemen itu seperti suara koor saja dari usulan pemerintah. Pengawasanya juga menjadi sangat lemah karena mereka terlibat dalam tentukan anggaran. Ada kepentingam mereka disitu. Jadi suara mereka akhirnya lantang bicara sebagai hanya tanda nyanyian lagu setuju.
Dalam pengalaman pribadi, ketika lembaga studi pengembangan perkoperasian (LSP2I) yang pernah saya pimpin mendapat memo tugas dari Menteri untuk menyusun draft undang-undang Perkoperasian sebagai inisiatif pemerintah. Namun dalam perjalanan lalu munculah banyak sekali versi baru.
Ada 5 versi draft RUU dan kemudian yang diketok terakhir ternyata per definisinya saja jauh dari yang diusulkan dan diaspirasikan rakyat, yang telah dikaji secara akademik bertahun-tahun. Sehingga ketika ditetapkan sebagai UU, kami terpaksa dorong untuk lakukan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan akhirnya UU tersebut dibatalkan sepenuhnya oleh MK.
Persis seperti yang terjadi dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang terjadi beberapa waktu yang lalu bukan? Aspirasi rakyat seperti diabaikan dan ditengarai isinya yang hanya potensi untungkan pengusaha dan abaikan kepentingan rakyat kecil seperti buruh, petani itu ternyata dinyatakan melanggar Kontitusi oleh MK.
Kembali ke soal anggota parlemen di negeri ini. Cobalah lihat ketika proses kampanye. Seorang teman yang saat ini jadi anggota parlemen itu ternyata harus keluarkan kocek sampai luar biasa fantastis. Bahkan saya agak kaget karena mereka bisa keluarkan uang hingga milyaram rupiah untuk menjadi seorang anggota parlemen.
Darimana mereka akan dapatkan pemasukan untuk kembalikan modal mereka? Apa tidak akan sebabkan jual beli pasal ? Bagaimana dengan nasib aspirasi rakyat dan kualitas perundang undangan kita?.
Saatnya kita pikirkan, apakah perlu kita berikan gaji dan fasilitas tinggi kepada anggota DPR kita? Apakah perlu diteruskan itu hak budget atau anggaran untuk DPR sehingga mereka akan lemas suarakan aspirasi rakyat?[***]