telusur.co.id - Langkah progresif Gubernur Bali I Wayan Koster yang meluncurkan Gerakan Bali Bersih mendapat dukungan penuh dari Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini. Ia menilai gerakan tersebut sebagai inisiatif berani yang bisa menjadi pemantik perubahan besar dalam pengelolaan sampah di Indonesia.
“Persoalan sampah tidak bisa selesai kalau hanya mengandalkan satu pihak. Harus ada kesadaran kolektif, lintas sektor, dan dukungan nyata dari masyarakat. Surat edaran Gubernur Bali ini patut diapresiasi, bukan diperdebatkan,” kata Novita dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (14/4/2025).
Novita menekankan bahwa gerakan dari daerah seharusnya tidak justru berbenturan dengan kebijakan nasional. Sebaliknya, Bali Bersih harus dijadikan momentum untuk menyatukan langkah dan menyusun kebijakan pengelolaan sampah yang lebih terintegrasi dan berkeadilan.
Memang, muncul sejumlah kritik terhadap kebijakan tersebut, terutama dari pelaku industri dan sektor ekonomi informal yang khawatir terkena dampaknya. Namun menurut Novita, perdebatan semacam ini harus dilihat dengan kepala dingin.
“Polemik itu wajar, tapi mari kita sikapi secara dewasa dan solutif. Bukan saling menyalahkan, tapi membuka ruang dialog. Ajak UMKM, pelaku industri kreatif, hingga masyarakat untuk duduk bersama, cari solusi,” tegasnya.
Ia pun mendorong pembentukan forum lintas kementerian dan daerah, yang fokus menyusun kebijakan nasional soal pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan membuka ruang partisipasi luas.
Novita menyebut, Bali dengan kekuatan pariwisatanya bisa menjadi simbol perubahan dalam mewujudkan ekonomi hijau. Gerakan Bali Bersih menurutnya bukan sekadar soal sampah, tapi bagian dari transisi menuju green economy yang sudah menjadi arus utama dunia.
“Pemerintah harus punya visi jangka panjang. Negara-negara maju sudah mulai transisi ke ekonomi hijau. Indonesia tidak boleh tertinggal. Ini bukan cuma isu lokal, tapi isu global,” katanya.
Ia juga menyoroti rendahnya skor Indonesia dalam Environmental Performance Index (EPI)—hanya 28.2. Bandingkan dengan Singapura (50.9), Jepang (59.6), dan Korea Selatan (46.9). “Kalau kita mau bersaing di level global, ini harus jadi alarm bagi semua pihak,” tambahnya.
Di akhir keterangannya, Novita menekankan pentingnya kolaborasi nyata, bukan hanya retorika. “Kalau mau duduk bersama, ya duduk saja. Bahas target transisi green industry. Jangan tunggu sampai masalah lingkungan jadi bencana,” tutupnya.[iis]