telusur.co.id - Oleh : Denny JA
Menyambut Festival Puisi Esai ASEAN ke-4 di Sabah, Malaysia, saya teringat kota kecil Hay-on-Wye, di perbatasan Inggris dan Wales.
Setiap tahun, di kota mungil itu, ribuan pencinta buku berbondong-bondong hadir dalam Hay Festival.
Didirikan pada 1988 oleh Peter Florence dan ayahnya, festival ini bermula dari perayaan sederhana di sebuah toko buku bekas. Namun kini, Hay Festival menjelma menjadi salah satu festival sastra paling berpengaruh di dunia.
Bahkan Bill Clinton pernah menyebutnya sebagai “Woodstock of the mind.”
Begitulah kuasa sebuah festival tahunan: ia lebih dari sekadar agenda kebudayaan. Ia adalah titik temu imajinasi kolektif, napas harapan bagi peradaban.
Festival seperti ini, apakah ia merayakan film di Cannes, musik di Glastonbury, atau puisi di Medellín menjadi ruang spiritual di mana manusia menyapa dirinya sendiri melalui karya orang lain.
Mengapa kita butuh festival tahunan? Karena di tengah kebisingan algoritma, gempuran berita palsu, dan kesunyian batin yang remuk, festival adalah suara tenang yang memanggil manusia kembali pada akarnya: pada puisi, cerita, dan rasa.
Ia menyegarkan kembali jiwa publik dari mati rasa.
Pada 2012, saya menulis sebuah buku berjudul Atas Nama Cinta. Lima puisi panjang di dalamnya menarasikan ulang kisah nyata tentang diskriminasi.
Tapi puisi ini bukan puisi biasa. Ia dilengkapi catatan kaki, mencatat berita dan fakta yang melatari kisah tersebut.
Dari sinilah puisi esai lahir.
Puisi esai adalah genre sastra baru yang memadukan narasi puitis dengan dokumentasi nyata. Ia berdiri di antara fiksi dan jurnalistik. Ia mengisahkan kembali peristiwa sungguhan, namun dengan teknik dan jiwa puisi.
Inovasi puisi esai mencakup :
1. Kisah Nyata yang Dipuisikan
Puisi esai lahir dari kisah faktual. Tapi ia tak berhenti di dokumentasi. Ia mengangkat kisah itu ke ruang batin, menjadikannya getar estetik.
2. Catatan Kaki sebagai Bagian Sentral Puisi
Catatan kaki bukan sekadar pelengkap. Ia adalah sumur asal puisi itu. Tanpa fakta dalam catatan kaki, takkan lahir puisi esai.
3. Gabungan Fakta dan Fiksi
Imajinasi ditambahkan, bukan untuk mengaburkan fakta, tapi untuk menyentuh bagian kemanusiaan yang tak terjangkau oleh data semata.
4. Siapa Saja Boleh Menulis
Genre ini membuka pintu. Tak harus penyair profesional. Siapa pun yang memiliki kisah dan empati boleh menulisnya.
5. Telah Terbit 200 Buku Puisi Esai
Sejak 2012, genre ini telah menyebar ke 38 provinsi, dari Aceh hingga Papua, bahkan ke Australia, Mesir, dan negara-negara ASEAN.
6. Serial Empat Buku dan Deklarasi Angkatan
Empat buku telah terbit yang mendeklarasikan puisi esai sebagai sebuah angkatan baru dalam sejarah sastra Indonesia.
Buku ini disusun oleh Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman, dan lainnya.
Adalah Datuk Jasni Matlani, penyair terkemuka asal Sabah, peraih SEA Write Award dan penyair negara, yang melihat potensi puisi esai untuk melintasi batas negara.
Bersama Fatin Hamama, ia memprakarsai Festival Puisi Esai ASEAN. Ini adalah mimpi besar: menyatukan negara-negara Asia Tenggara dalam satu panggung puisi yang berakar pada fakta dan kemanusiaan.
Dengan dukungan penuh dari pemerintah negara bagian Sabah, festival ini lahir bukan dari sponsor korporat, tapi dari cinta negara terhadap warganya, yang haus akan ruang makna. Tahun ini adalah edisi keempat.
Dari Indonesia, pada tahun 2025, hadir Fatin Hamama, penyair sekaligus penggerak awal puisi esai; Gol A Gong, Duta Baca yang menjadikan literasi sebagai jalan hidup.
Hadir pula Jonminofri Nazir, Ketua Harian Satupena; dan Mila Muzakkar. Ia penggiat literasi yang baru saja menerbitkan buku puisi esai tentang perempuan dan luka sosial.
Di tengah pantai-pantai biru kehijauan Sabah, dengan deru angin Laut Sulu dan aroma pasar lokal yang meriah, para penyair ini akan membacakan kisah dari kampung, dari kota, dari tubuh mereka sendiri.
Namun semua dirajut dengan napas ASEAN: napas kebersamaan yang lintas batas dan lintas luka.
Mengapa Sastra Harus Hadir di Ruang Publik?
Jika jalanan kita dipenuhi iklan, pusat perbelanjaan dijejali promosi, dan media sosial tenggelam dalam kemarahan serta narsisme, di manakah tempat bagi puisi?
Kita butuh sastra di ruang publik. Mengapa?
1. Agar Manusia Tidak Mati Rasa
Di tengah dunia digital yang serba cepat, sastra memperlambat, menyentuh, dan menyadarkan.
Puisi di ruang publik ibarat pelukan di tengah jalan: mengejutkan, namun hangat.
2. Membuka Dialog Sosial yang Baru
Ketika politik gagal membangun percakapan lintas identitas, sastra hadir tanpa pretensi. Ia menyatukan manusia melalui luka dan harapan bersama.
3. Menanam Kesadaran Kultural pada Generasi Baru
Di dinding sekolah, halte bus, hingga bioskop dan kafe, puisi bisa tumbuh, menanam akar budaya agar generasi muda tak tercerabut dari sejarah dan nilai-nilai luhur.
Bayangkan kisah ini. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang siswa SMA bernama Yusri membacakan puisi esai tentang nelayan yang tenggelam dalam badai.
Ia menulis puisi itu untuk ayahnya, yang meninggal ketika ia baru berusia dua tahun.
Saat Yusri selesai membaca, ia diam. Semua hadirin diam. Udara dingin menggigit. Tak ada tepuk tangan. Tapi ada air mata.
Festival bukan tentang panggung megah. Ia tentang ruang manusia bisa melihat dirinya sendiri. Lalu menangis, atau tertawa, atau menemukan makna yang lama terlupa.
Festival Puisi Esai ASEAN bukan sekadar acara tahunan. Ia adalah revolusi sunyi. Ia memperbanyak sastra di ruang publik, agar batin manusia tak semakin tandus.
Sebab, di dunia yang semakin gaduh ini, mungkin yang paling kita butuhkan bukan suara yang lebih besar, melainkan kata yang lebih dalam.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.