telusur.co.id - Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansah mengungkap dampak pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk China atau Tiongkok yang tengah diusulkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
Usulan tersebut berangkat dari temuan KADI yang dirilis beberapa waktu lalu. KADI merekomendasikan BMAD atas impor ubin keramik yang berasal dari Tiongkok dengan tarif maksimal sebesar 199,98 persen.
Trubus mengatakan, pemerintah harus berhati-hati mengambil kebijakan tersebut dan terlebih dahulu mengkaji ulang bagaimana dampak BMAD terhadap konsumen atau kepentingan masyarakat luas.
"Pemerintah seharusnya tidak perlu melakukan kebijakan anti dumping terburu-buru, kalau melakukan itu secara sembrono bisa muncul risiko berkepanjangan nantinya, artinya saya melihat nanti Indonesia akan diperlakukan seperti itu produk-produk dari dalam negeri juga," kata Trubus, Sabtu (20/7/24).
Dikatakan Trubus, kebutuhan keramik dalam negeri masih sangat tinggi di angka 150 juta meter persegi, sedangkan stok produk terbatas yang bisa dipenuhi sebesar 70 juta meter persegi. Sehingga, tanpa adanya transaksi ekspor dan impor, konsumen akan dirugikan lantaran kebutuhannya tidak terpenuhi.
Karena minimnya kesediaan barang, lanjut Trubus, pada ujungnya bisa terjadi kelangkaan keramik seperti yang terjadi pada komoditas minyak goreng. Meski pun dipenuhi, harga keramik yang dibutuhkan akan dipatok dengan harga yang jauh lebih tinggi.
"Kalau saya sih pemerintah harus punya kalkulasi yang matang terkait dengan ini, jangan sampai nanti kita kekurangan stok,” bebernya.
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif maksimal sebesar 200% harus sangat hati-hati, perlu juga mempertimbangkan risiko dari kebijakan tersebut.
“Harus hati-hati jangan gegabah itu nanti masalahnya dampaknya panjang, tidak hanya waktunya tetapi masalah-masalah lainnya, bisa muncul masalah baru lagi kan,” katanya.
Dikatakan Trubus, untuk memenuhi kebutuhan keramik bagi masyarakat, pemerintah juga perlu mendorong industri dalam negeri, baik secara kualitas maupun volume produksi sesuai kebutuhan pasar, agar dapat terserap dengan baik, selain itu juga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
“Misalnya kita membangun sendiri karena persoalannya sekarang ini kan lucu tergantung pada impor, selalu impor tetapi tidak pernah inovasi untuk menghasilkan produk dalam negeri,” ucapnya.
“Tetapi kita juga harus memikirkan suksesi subsitusi negara lain di mana yang memproduksi keramik juga yang menguntungkan tetapi dengan harga tentu lebih tinggi dari Tiongkok tapi itu risiko. Selain itu kita harus memproduksi sendiri sebenarnya untuk ciptakan lapangan pekerjaan juga,” tambahnya.
Lanjut Trubus menyampaikan pengenaan rencana BMAD mencapai 200% tidak perlu dilakukan dalam waktu dekat ini, yang perlu dilakukan pemerintah ialah harus menggandeng negara penghasil keramik untuk berinvestasi atau bermitra dengan produsen lokal dalam memproduksi keramik yang berkualitas.
“Iya tidak dulu menaikkan nanti kita repotnya dibalas oleh Tiongkok, ada industri ekspor kita nanti di blacklist oleh dia, jadi lebih baik mungkin berjalan saja secara bertahap. Nah kita secara perlahan kerja sama dengan negara membuat keramik itu sembari negara kita, industri keramik kita yang ada ini digenjot produksinya untuk menutupi pangsa pasar yang sangat tinggi,” urainya.
Lebih lanjut Trubus mengatakan perlu ada transfer teknologi dari negara lain untuk memproduksi keramik dalam negeri agar sesuai selera pasar.
Pemerintah juga kata Trubus, ke depan harus berkonsentrasi juga untuk memaksimalkan produk dalam negeri yang bermutu agar tidak terlalu bergantung terhadap impor, hal itu bisa dilakukan misalnya seperti dengan memberikan pinjaman lunak.
“Kebijakannya sekarang Indonesia mulai mencari negara-negara mana yang memproduksi keramik itu sambil intinya kan kita harus orientasinya ke dalam negeri," ungkap Trubus.
"Industri kita ini masalah teknologi, negara perlu mensubsidi mereka untuk bisa memberi softloan atau pinjaman supaya mereka bisa menggenjot itu produksinya,” tukasnya. [Prt]