Ekonom: Pemerintah Perlu Reformasi Sistem Perpajakan Berdasarkan Fatwa MUI - Telusur

Ekonom: Pemerintah Perlu Reformasi Sistem Perpajakan Berdasarkan Fatwa MUI


telusur.co.id - Ekonom Pusat Kajian Keuangan, Ekonomi dan Pembangunan Universitas Binawan, Farouk Abdullah Alwyni, menyambut baik fatwa MUI tentang pajak berkeadilan.

Menurutnya, fatwa yang dibacakan pada Musyawarah Nasional MUI 20-23 November 2025 sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini. 

"Pemerintah perlu mempertimbangkan isi fatwa itu sebagai masukan positif dalam mereformasi sistem perpajakan nasional," kata Farouk dalam keterangannya, Kamis (27/11/2025). 

Farouk menilai, sekarang ini merupakan saat yang tepat bagi Pemerintah untuk menata ulang aturan sektor perpajakan. Aturan pajak ke depan harus berlandaskan prinsip keadilan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Pajak harus menjadi instrumen strategis dalam menciptakan pemerataan ekonomi dan kesejahteraan. 

“Esensi pajak berkeadilan adalah tidak memberatkan masyarakat banyak. Pajak yang berkeadilan adalah pajak yang dipungut oleh negara tanpa memberikan beban berlebihan kepada masyarakat luas. Pemungutan pajak tidak boleh menyebabkan tekanan ekonomi yang melemahkan kesejahteraan rakyat,” jelas mantan pejabat Islamic Development Bank, Jeddah, Saudi Arabia, itu. 

Dengan pertimbangan tersebut, Farouk menyatakan mendukung Fatwa MUI terkait pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) rumah pertama dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) pertama. Alasannya, tempat tinggal dan kendaraan penunjang kerja adalah kebutuhan pokok. 

Dalam konsep zakat pun rumah yang dihuni tidak termasuk objek zakat. Kebijakan serupa patut diterapkan untuk kendaraan pertama, mengingat fungsinya sebagai kebutuhan dasar mobilitas masyarakat.

Farouk menambahkan, pajak sejatinya merupakan sarana pemerataan ekonomi (distributive justice). Sehingga, pajak harus dipungut terutama dari mereka yang sangat berkecukupan untuk kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat luas, khususnya kelompok yang paling membutuhkan. 

Sedangkan hasil pajak harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan publik. Penggunaan dana pajak wajib diarahkan sepenuhnya untuk kemaslahatan orang banyak yaitu dalam bentuk pembangunan fasilitas publik, peningkatan layanan sosial, dan penguatan kesejahteraan. Penyimpangan penggunaan pajak dari tujuan ini bertentangan dengan prinsip dasar keadilan fiskal.

“Pajak tidak boleh memberatkan karena berpotensi melemahkan perekonomian nasional. Pajak yang terlalu tinggi atau memberatkan masyarakat dapat menurunkan daya beli. Turunnya daya beli akan menekan permintaan dan pada akhirnya menyebabkan menurunnya investasi serta potensi meningkatnya pengangguran. Karena itu, kebijakan pajak harus mempertimbangkan dampaknya secara luas terhadap stabilitas dan pertumbuhan ekonomi,” terang mantan Direksi Bank Muamalat Indonesia ini.

Sebagai negara berlandaskan Pancasila, Indonesia perlu membuat rumusan sistem perpajakan yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Hal tersebut harus tercermin dalam jenis dan besaran tarif pajak yang berlaku serta pemanfaatannya.

Ia menegaskan bahwa pajak tidak boleh digunakan untuk memfasilitasi kemewahan aparatur negara. Uang pajak rakyat harus dikembalikan lagi untuk kepentingan rakyat. Dengan cara seperti itu maka pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan dapat terwujud.

Ia mengutip Ibn Khaldun yang menegaskan bahwa pajak yang tinggi justru dapat menggerus pendapatan negara dan mengancam keberlangsungan sebuah peradaban, sedangkan pajak yang moderat/rendah dapat memperkuat perekonomian dan meningkatkan penerimaan negara. 

Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan pernah mengadopsi prinsip ini dalam upaya menstimulasi ekonomi AS. 

Untuk itu, pemerintah Indonesia diharapkan juga memperhatikan pendekatan rasional dan historis ini dalam merumuskan kebijakan perpajakan nasional.[Nug] 

 


Tinggalkan Komentar