Oleh: Suroto*
Ide saya tentang pengkoperasian BUMN atau kooperativisasi BUMN yang menjadi kontroversi di media saat ini sepertinya dilepeh atau dihindari oleh banyak orang. Seakan-akan idenya itu subversif. Belum dipahami langsung dinyatakan tidak masuk akal, absurd, dan tidak mungkin. Padahal justru tujuanya untuk meneggakkan sistem demokrasi ekonomi yang diperintahkan Konstitusi terutama Pasal 33 UUD 45.
Ide dasarnya adalah untuk menyelamatkan asset strategis negara yang namanya BUMN dari kuasa elit politik dan elit kaya yang selama ini memiliki kekuasaan untuk memainkan BUMN. Secara konseptual juga sangat sederhana. Seperti halnya yang dilakukan oleh Pemerintah ketika lakukan upaya privatisasi BUMN dengan meneken UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dam jadikan semua BUMN sebagai basis Perseroan kapitalis lalu membuat PP (Peraturan Pemerintah) untuk lakukan penyerahan asset (imbreng) ke korporasi kapitalis.
Tinggal dibalik, diganti diserahkan ke masyarakat dan ganti badan hukum BUMN jadi badan hukum koperasi. Jadi bukan pembubaran BUMN atau yang lain. Justru ide itu saya lontarkan untuk selamatkan BUMN yang tersisa saat ini sebelum didilusi sahamnya, dijual dan atau dibubarkan oleh Pemerintah hari ini.
Ide yang saya sampaikan tanggal 31 Januari 2024 lalu di Jalan Brawijaya X No. 46, atas undangan resmi sebagai narasumber dalam diskusi yang diinisiasi oleh Tim Pemenangan Nasional Capres-Cawapres AMIN (Anis Baswedan-Muhaimin Iskandar).
Saya sangat berharap justru rakyat bersatu menuntut kepada semua Capres (Calon Presiden) untuk membuat kontrak politik lakukan kooperativisasi BUMN atau koperasikan BUMN agar rakyat semua ikut berpartisipasi aktif dan ikut kendalikan BUMN yang ada. Agar mereka ikut menikmati hasil dari aktifitas ekonomi BUMN.
Saya paham, elit politik dan elit kaya yang sedang menikmati kekuasaan terhadap BUMN dan yang akan menggantikanya pasti tidak mau. Makanya menggiring ide saya itu sebagai ide tak masuk akal.
Pengkoperasian BUMN dari model badan hukum perseroan menjadi badan hukum koperasi itu justru tujuanya untuk pengkonversi BUMN dari badan hukum Persero kapitalis menuju kepemilikan demokratis oleh rakyat langsung melalui sistem Koperasi.
Tujuanya agar rakyat tetap memiliki kendali atas asset strategis negara di BUMN, agar rakyat tidak jadi korban komersialisasi dan komodifikasi BUMN, agar BUMN menjadi lebih transparan dan demokratis, agar rakyat juga dapat turut menikmati usaha usaha BUMN secara langsung. Tidak kita biarkan berada dalam kuasa tunggal keputusanya ditangan Presiden dan apalagi Menteri BUMN seperti sekarang ini.
Sejak ditetapkanya UU BUMN tahun 2003, semua BUMN diarahkan untuk diprivatisasi. Sayangnya di UU BUMN tersebut hanya berikan peluang ke Badan Hukum Perseroan. Koperasi sebagai bentuk badan hukum tidak diberikan peluang dan hal ini dikunci di UU BUMN Pasal 9, dimana hanya perkenankan bagi badan hukum perseroan.
Sehingga BUMN yang ada, ketika dilakukan privatisasi, saham saham publiknya dikuasai hanya oleh mereka yang punya uang, bahkan dimiliki asing. Sudah banyak BUMN yang terdilusi (berkurang sahamnya) dan pemerintah tidak mayoritas lagi. Sehingga tujuan BUMN itu justru banyak yang bertentangan dengan kesejahteraan rakyat.
BUMN dengan badan hukum Perseroan memang memungkinkan untuk terjadinya dilusi saham dari BUMN tersebut. Sebab otoritas dari pemegang sahamnya adalah Pemerintah yang diwakili Presiden dan didelegasikan ke Menteri BUMN dalam operasionalnya.
Proses dilusi sahamnya itu biasanya dimulai dengan adanya kondisi internal perusahaan BUMN yang terancam gagal bayar karena utangnya yang membengkak atau krisis ekonomi. Lalu dengan mudahnya BUMN dapat beralih dari kuasa pemerintah.
Nah, masalahnya adalah beralih sahamnya ke masyarakat yang mana? Adalah masyarakat yang punya uang. Sebut saja misalnya saham publik Bank BRI yang 46,81 persen sudah dimiliki publik. Saham publiknya dimiliki hanya oleh orang orang yang punya uang. Dari 310.427 pemegang saham BRI itu hanya segelintir orang yang miliki saham dalam jumlah besar dan 92 persen adalah orang asing.
Dari 276 juta rakyat Indonesia yang pemilikanya diwakili Presiden dan Menteri BUMN itu tinggal punya saham kendali 53,19. Nah kalau terjadi krisis ekonomi dan atau bank kekuarangan liluiditas itu bisa langsung terdilusi saham mayoritasnya lalu kendali jatuh ke tangan orang orang kaya itu. Saat ini sudah banyak BUMN yang hilang saham mayoritasnya dan dikuasi segelintir elit kaya.
Saya lihat Menteri BUMN Erick Tohir itu visinya ingin mendilusi saham ini, ini bisa dilihat dari kebijakanya yang dorong terus pembubaran BUMN ini. Dari ketika dia menjabat BUMN kita masih ada 191 dan saat ini tinggal 91 dan inipun akan terus dikurangi. Dia juga sampaikan di media bahwa tahun 2045 itu ingin agar BUMN tidak ada lagi (Liputan6.com tanggal 2 Juli 2020).
Sementara itu, posisi BUMN dibuat dengan alasan penugasan pemerintah untuk bangun infrastruktur, banyak yang akhirnya dibebani utang besar dan terancam gagal bayar. Sebut saja misalnya PLN, perusahaan ini utangnya sudah tiga kali lipat dari modal sendirinya dan bisa terancam gagal bayar sewaktu waktu. Lalu ketika butuh likuiditas maka didilusilah sahamnya dan jatuh hanya ketangan orang yang punya uang.
Kooperativisasi BUMN atau pengkoperasian BUMN itu tujuanya justru untuk selamatkan BUMN agar tidak jatuh dikuasai elit kaya dan bahkan asing. Tujuanya agar rakyat Indonesia itu tetap memiliki kuasa secara demokratis terhadap aset BUMN. Sebab sistem koperasi itu berbeda dengan sistem perseroan yang mudah sekali dilakukan dilusi. Untuk menjual BUMN itu hanya cukup keputusan Presiden dan Menteri BUMN.
Lain halnya jika saham itu dikuasai oleh rakyat melalui badan hukum koperasi. Untuk mengambil keputusan harus meminta persetujuan rakyat seluruh Indonesia sebagai pemegang sahamnya. Tak hanya itu, untuk membuat perjanjian utang, mengangkat komisaris juga harus meminta persetujuan rakyat karena rakyat melalui sistem badan hukum koperasi bisa kendalikan dengan hak suara setiap orang sama. Tidak seperti sekarang ini yang semuanya ditentukan oleh Presiden dan Menteri BUMN.
Cara untuk mengkoperasikan BUMN itu adalah dengan revisi UU BUMN di pasal 9 saja. Dimana kata BUMN yang hanya berbadan hukum Persero dan Perum ditambah Badan Hukum Koperasi. Lalu untuk mengkoperasikanya dilakukan dengan meng-imbreng (serahkan) saham dari tangan pemerintah ke badan hukum koperasi tersebut. Seperti ketika Presiden lakukan penyerahan saham ke Perseroan.
Soal sistem tata kelolanya juga tidak perlu dipertanyakan, banyak koperasi yang anggotanya puluhan juta orang juga dapat dikelola profesional. Contohnya adalah Koperasi Desjardins Credit Union di Canada, atau Koperasi Group Credit Agricole di Perancis yang anggotanya sudah puluhan juta. Hak suara untuk tentukan kebijakan perusahaan itu tetap bisa berjalan dan bahkan dua bank di atas itu pernah jadi bank terbaik (Bank Of The Year) di negaranya masing masing. Tinggal dicontoh saja.
Sementara itu manajemen perusahaan dan operasional tetap jalan seperti biasa. Hanya tinggal lalukan penyesuaian ke tata kelola koperasi. Hal yang paling mendasar adalah perlu disosialisasikan ke manajemen dari level direksi sampai level OB bahwa mereka itu tidak boleh macem macem lagi karena rakyat yang juga konsumen itu jadi pemilik. Mereka punya hak suara dan kepemilikan langsung. Jadi tidak boleh sembarangan.[***]
*) Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR)