KPU periode saat ini ingin membuat format debat capres-cawapres menjadi sesuatu yang berbeda, sesuatu yang akan dikenang di kemudian hari, terus apa yang salah?
Format debat capres-cawapres untuk Pilpres 2024, dijadwalkan lima kali. Tiga kali capres, dua kali antar cawapres, tapi semua kontestan hadir, dalam keseluruhan debat. Itu tidak ada yang salah, benar kan Mas Gibran? Kan, ikut perintah KPU.
Kalau biasanya debat head to head antar capres vs capres, dan cawapres vs cawapres, nah kali ini all kontestan selalu ada di podium yang sama, setia menjaga, sampai kelar seluruh agenda debat.
Publik semestinya, eh bukan publik maksudnya, tim kampanye masing-masing pasangan calon, tak perlu menuduh aneh-aneh. Janganlah menaruh kecurigaan berlebihan pada KPU, kayak Mahkamah Keluarga, eh maksudnya Mahkamah Konstitusi (MK) pada putusan nomor 90/PUU-XII/2023 dulu. Toh, sesuai konstitusi semuanya, kan begitu Mas Gibran! Jika ada hakimnya yang diputuskan oleh majelis kehormatan melanggar etika, toh semua sudah sesuai mekanisme yang ada. Apalagi sampai underestimate terhadap Mas Gibran, mempertanyakan kemampuannya, sangat disesalkan. Dengan alasan tidak menghadiri Dialog Terbuka yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah.
Barangkali, ketidakhadiran Mas Gibran karena tak ingin menjual manisan lewat kata-kata saja, tapi ia ingin melakukan aksi tanpa perlu direpotkan seabrek teori. Ya, kayak bikin bisnis martabak gitu lho. Tak perlu umbar iklan kemana-mana, tapi sekali buka outlet-nya langsung banyak. Modalnya darimana saja? Itu urusan lain. Yang penting kalian pernah dengar dan lihat ada usaha martabak, baru di buka, langsung me-nasional. Kemudian, jadi tiket agar dikenal orang untuk maju menjadi kepala daerah. Itu sudah cukup untuk menginspirasi, agar hidup tak perlu melalui proses panjang, jatuh bangun, menderita. Itu cukup di lalui oleh orang tak memiliki previllage. Dan, akan dikenang juga bahwa pernah ada pemimpi (n) yang lahir dari seorang penjual martabak. Apa kabar usaha itu sekarang ya?
Kembali ke debat cawapres
Ya, semua pemilih tentunya ingin mendengar apa gagasan dari para calon pemimpin mereka. Bagaiman raut muka masing-masing capres-cawapres bila berhadap-hadapan. Apakah merah muram, pucat kecut, emosian, loyo, datar, dan sebagainya. Bagaimana nanti saling balas pertanyaan, balas jawaban, saling balas gimik, dan apakah akan ada lagi istilah baru yang tercipta dari debat itu, seperti diksi ‘tol langit’ pada debat Pilpres 2019 lalu.
Karena melalui lontaran gagasan, akan terbayang Indonesia ke depan. Jika melenceng dari gagasan, dari janji-janji, tidak apa-apalah, masyarakat cepat memaafakan, kok. Hidup mereka akan dianggap baik-baik saja. Selama buzzer tetap dikasih makan, masyarakat tak apa-apa kelaparan, tak apa-apa susah mencari pekerjaan. Biarkan anggaran negara untuk para buzzer-buzeer yang sudah setia mendampingi selama ini. . Karena ini pesta demokrasi, debat capres-cawapres biarkan jadi hiburan alternatif masyarakat.
Yang perlu dijaga ialah tidak terlontarnya perkataan yang menyakiti hati. Tapi kalau tindakan/kebijakan yang diterbitkan, nanti jika terpilih, sangat menyimpang dari suara umum, dari janji-janji, masih diampuni. Ada riak-riak, itu biasa. Kita kan menganut sistem demokrasi, yang menurut ilmuan politik Francis Fukuyama, demokrasi adalah pilihan rakyat, yang dikombinasikan dengan kontrol elite. (Acara Endgame di youtube-nya Gita Wirjawan).
Jika ada yang tidak memiliki gagasan, tidak perlu juga merendahkan. Apalagi sampai membanding-bandingkan dengan para pendiri bangsa, yang di usia muda sudah berkelahi secara pemikiran. Mereka sudah melahap semua gagasan tokoh-tokoh dunia, melalui membaca, saling kritik lewat tulisan. Sehingga, ketika kemerdekaan dicapai, mereka tahu kehidupan seperti apa yang ditujukan nantinya oleh bayi Indonesia ini. Tapi, itu kan pemikir tempo dulu. Bukan berarti melupakan sejarah alias jas merah, tentu tidak begitu dooong, betulkan Mas Gibran?
Hanya saja, zaman sudah berubah. Sekarang era nya serba instan, makanan saja ada yang siap saji, melahirkan public figure, tokoh-tokoh baru juga begitu. Dikarbit sedemikian rupa. Viral di tiktok, langsung terkenal, di undang oleh TV-TV, podcast-podcast-, setelah itu ada yang menghilang. Itu tidak masalah.
Lagi pula, jika lahir politisi karbitan, kan ada orang-orang hebat juga di belakangnya. Selalu setia menjaga, memberi support logistik. Para pembisik yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Terpenting dari itu semua adalah sokongan, restu, doa serta bantuan orang tua. Cukup itu, selesai semuanya. Enggak mungkin orang tua membiarkan anaknya gagal. Apalagi gagal di dunia politik. Sebagai pewaris DNA, tidak boleh itu terjadi. Karena keberhasilan kakak akan menjadi contoh oleh adik-adiknya, yang juga dipersiapkan akan mewarisi kejayaan keluarga di dunia politik.
Karena itu, debat khusus antar cawapres tidak perlu dilakukan. Sudah tepat format di setiap debat semua kontestan hadir.
Bismillah, siap jadi juru bicara wakil presiden.
*) Kerani di telusur.co.id