Falsafah Kepemimpinan Para Leluhur dalam Perspektif Pola Kepemimpinan Indonesia Ke Depan - Telusur

Falsafah Kepemimpinan Para Leluhur dalam Perspektif Pola Kepemimpinan Indonesia Ke Depan

Ilustrasi. Foto: Ist

telusur.co.id -

Oleh. : Agus Widjajanto , Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Politik, Budaya dan Sejarah

Dalam memasuki era Globalisasi , menuju dan menyongsong Indonesia kedepan yang oleh presiden terpilih pasangan Prabowo Subiyanto dan Gibran Raka Buming Raka, kerap dikatakan " menyongsong Indonesia Emas " tidak lah semudah membalikan sebuah tangan , lalu tercapai menuju kepada harapan Yang disebut Indonesia Emas, tapi perlu kerja keras dan partisipasi seluruh elemen bangsa , baik pejabat nya, Dunia usaha dari Swasta, para pendidik baik ditingkat sekolah menengah maupun para Dosen pada Universitas baik negeri maupun swasta, para Kaum Agama , baik dari agama Islam , Kristen Katolik dan protestan , Hindu , Budha dan kepercayaan , para budayawan ( Penulis ) dan anak anak muda milenial yang kerap membuat kreator di media sosial , dan tentu dari TNI dan Polri sebagai penyangka pertahanan dan keamanan , semuanya bahu membahu bersatu menuju yang dicita-citakan citakan mencapai Indonesia Emas, yaitu sejahtera , adil makmur , gemah Ripah loh jinawi. 

Membicarakan perjalanan dan sejarah sebuah Bangsa tidak bisa dilepaskan dari Sifat karakter dari para pemimpinan nya dalam memimpin sebuah Bangsa tersebut, termasuk Indonesia . 

Pada masa lalu saat Di Jawa dan Nusantara ini berdiri kerajaan kerajaan besar , falsafah yang diterapkan para pemimpin masa lalu yakni raja raja besar saat itu, adalah " Adil Paramarta " baik dalam hukum negara, hukum agama , maupun hukum sosial dan Politik . Antara lain yang menerapkan sifat adil Paramarta adalah : Raja Ratu Shima , pada abad ke 7 Masehi , Raja Samaratungga ( Raja Medang tahun 1

812- 833 M ) , Rakai Pikatan / Mpu Manuku ( Medang tahun 838 - 885 M ) , Mpu Sendok ( Raja Medang tahun 929 - 947 ) Raden Wijaya ( Dyah Wijaya ( Raja Majapahit 1293- 1247 Masehi ) dan Ratu Tribuwana Tunggal Dewi ( Raja Wilwatikta Majapahit 1328 - 1350 ) , para raja raja tersebut menerapkan prinsip dan falsafah Adil Paramarta , seperti Ratu Shima saat menjatuhkan hukuman kepada setiap orang tanpa kecuali , termasuk terhadap putra mahkota nya yang mengambil dan menggeser tempayan uang pemujaan di perempatan jalan , demikian juga pada Raja Samaratungga , yang menikahkan putrinya sendiri yakni Dyah Kusumawardani dengan Mpu Manuku atau yang dikenal dengan Rakai Pikatan yang berjasa membangun Bangunan Candi Jinalaya ( Candi Borobudur ) yang mana Raja Samaratungga Perlu memberikan apresiasi atas jasa Mpu Manuku sebagai arsitek dan kepala proyek pembangunan candi Budha terbesar , hingga saat ini, meskipun Mpu Jinalaya ( Rakai Pikatan ) bukan beragama Budha hinayana tapi beragama Hindu . 

Disamping menerapkan falsafah Adil Paramarta, para Raja Raja besar dijawa dan Nusantara ini juga menerapkan falsafah Memayu Hayuning Bawono : yang artinya adalah menjaga kelestarian dunia ( Jagad Raya ) ini , yang dalam pandangan Spiritualitas Jawa , terdiri dari jagad cilik ( Mikrokosmos ) dan jagad Gede ( Makrocosmos ) , Mikrokosmos terdiri dari seluruh alam beserta isinya seperti manusia , hewan , tumbuhan , gunung , lautan sungai , sementara Macrokosmos berarti wilayah Negara , Bumi seutuhnya dan alam semesta ( galaksi Bima Sakti ) , 

Yang ketiga Para Raja Raja terdahulu juga menerapkan falsafah. Manunggaling Kawulo Gusti , yang artinya konsep falsafah kepemimpinan Jawa bukan hanya dimaknai kemanunggalan antara hamba dan Tuhan secara Jagad Cilik , akan tetapi harus dipahami sebagai hubungan antara rakyat , dengan pemimpinan nya , dimana Raja yang menerapkan falsafah kepemimpinan tersebut dianggap Raha yang Merakyat . Dimana falsafah kepemimpinan Manunggaling Kawulo Gusti tidak hanya diterapkan pada masa Mataram Hindu hingga Medang Kediri dan Singosari sampai Majapahit , akan tetapi juga diterapkan hingga Mataram Islam , sebagai falsafah yang diterapkan oleh Hamangkubuwono ke IX , saat pra kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan . 

Bahwa falsafah kepemimpinan Jawa senantiasa berlatar belakang pada budaya dan agama / Spiritual Jawa . Faktor inilah yang membedakan antara falsafah kepemimpinan Jawa dengan falsafah kepemimpinan dari daerah lain di Indonesia , dan atau dari Negara negara Lian di dunia , yang pada hakekatnya falsafah tersebut dipahami sebagai pedoman untuk menjadi pemimpin berjiwa Jawi , yang artinya seorang pemimpin. Harus punya sikap , sifat, dan pemikiran yang mencerminkan kepribadian orang Jawa, adapun seorang pemimpin berjiwa Jawi senantiasa harus mampu menerapkan sikap bijaksana , diantara nya yaitu : 

1. Adil Ambeg Paramarta 

Dimana pemimpin harus bisa membedakan urusan penting dan tidak , yang harus bersikap adil . Yang harus menghilangkan urusan yang bersifat pribadi . 

2. Berbudi Bawa Laksana 

Yang artinya seorang pemimpin Harus bermurah hati serta teguh memegang janji pada rakyat sesuai kampanye nya saat pilihan umum . Dan saat sumpah janji pelantikan jabatan yang diembannya sebagai Raja ..

3. Wicaksana 

Pemimpin harus bijaksana dalam mengambil segala keputusan kenegaraan . 

4.Eling lan Waspodo 

Ingat sebagai pemimpin sejatinya sebagai abdi rakyat , yang harus memenuhi dan mewujudkan aspirasi rakyat. 

5 Panditho Ratu 

Seorang pemimpin harus mempunyai sifat Sabdo Panditho Ratu , yang mempunyai makna memiliki watak Panditho sekaligus Raja , sebagai hamba Tuhan juga sebagai abdi masyarakat .yang dengan demikian tugas nya sebagai Raja adalah sebagai Dharma dalam kehidupannya untuk menyejahterakan rakyat , dan pengabdian pada Tuhan nya. 

Pada Era pra kemerdekaan dan Pasca kemerdekaan kearifan local melalui ajaran luhur tentang kepemimoinan Nasional juga di ajarkan oleh pendiri perguruan / pendidikan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantoro, agar para pemimpin senantiasa memberikan contoh dan tindakan yang baik kepada bawahan atau masyarakat, dan guru juga memberikan contoh yang mulia disamping mengajarkan falsafah luhur, seperti: Ing Ngarso sung Tulodo, Tut Wuri Handayani. Demikian juga saat era mataram islam, Raden Mas Said pangeran samber nyowo raja pura Mangkunegoro 1 juga mengajarkan falsafah hidup, Ha Ngayomi , Handarbeni , yang arti maknanya : hangayomi memberikan perlindungan kepada orang lemah , rakyat seluruhnya tidak membedakan dari kasta dan ras serta suku dan agama keyakinan apapun , Handarbeni : ikut turut serta memiliki atas dunia ini dan lingkungan serta negara ini, agar bisa berjalan dalam keadaan baik dan stabil , Hangajeni : memberikan rasa hormat kepada siapapun tanpa memandang kasta , pangkat ,golongan, suku dan agamanya , dimana sifat dan rasa toleransi tersebut sekarang ini dianggap telah luntur oleh jaman , dimana orang hidup dengan sifat individualitas, rasa gotong royong telah hilang , akibat gempuran dan pengaruh dari budaya asing yang telah mempengaruhi seluruh sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, seolah bangsa ini negara ini sudah menjadi negara Liberal , sudah bercorak sebagai negara Kapitalis , bukan lagi negara yang berbudaya Indonesia yang berdasar Pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup bangsa . Itulah menjadi tugas dari pemimpin kedepan dari bangsa ini untuk mengembalikan lagi Ruh nya Keindonesiaan dari bamgsa yang beradab dan berbudaya ketimuran ini. 

Apabila pemimpin kedepan mempunyai sifat dan watak serta karakter sesuai falsafah kepemimpinan Jawa Jawi diatas maka untuk mencapai Dan menuju Indonesia Emas rasanya semakin ringan dan dapat dukungan oleh seluruh rakyat nya , serta seluruh elemen bangsa ini, menuju yang dicita-citakan citakan oleh UUD 1945 , yang senantiasa berpedoman pada Pancasila , dalam semua aspek kehidupan . Semoga itu harapan kami dan harapan seluruh rakyat . 

 


Tinggalkan Komentar