Four'as Politica Dalam Pembagian Kekuasaan di Era Negara Demokrasi Modern Saat Ini - Telusur

Four'as Politica Dalam Pembagian Kekuasaan di Era Negara Demokrasi Modern Saat Ini

Ilustrasi. Foto: Ist

telusur.co.id -Oleh. : Agus Widjajanto, Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Budaya Politik . 

Trias Politica adalah suatu konsep politik membagi dengan cara melakukan pemisahan kekuasaan menjadi tiga kekuasaan , yang saat ini dikenal dalam sistem politik pada negara negara demokrasi modern pasca perang dunia kedua , termasuk Indonesia , pertama kali dikemukakan oleh seorang pemikir dan filsuf inggris yaitu John Locke yang lalu disempurnakan oleh Montesquie yang bertujuan untuk mencegah kekuasaan negara yang bersifat Absolut , 

Pemisahan kekuasaan ( Separation Of Power) yang dalam bahasa Belanda disebut Scheiding der Machten dibagi dalam tiga kekuasaan yang merupakan pembagian kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara yakni : Eksekutif , Legislatif dan yudikatif .

Indonesia sendiri sebagai negara demokrasi yang dibentuk sejak awal oleh para pendiri bangsa memang telah mengadopsi dari Teory kekuasaan dari John Loch dan Montesquie , dengan konsep yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang tujuan nya juga sama agar terjadi kontrol terhadap penguasa jangan sampai terjadi kekuasaan yang absolut , dimana memang negara ini dibentuk berdasarkan ide dari pemerintahan desa tapi dalam lingkup Negara. 

Legislatif bertugas untuk membuat dan menyetujui Undang Undang dalam hal ini adalah DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat) , Eksekutif adalah bertugas sebagai pelaksana dari undang undang , yang dalam hal ini presiden dan wakil presiden serta anggauta kabinet nya yakni menteri menteri serta, kepala daerah baik gubernur kepala Daerah tingkat propinsi , bupati walikota kepala daerah untuk kabupaten dan kota madya , hingga kebawah . Sedangkan Yudikatif bertugas mempertahankan pelaksanaan Undang undang yakni dalam bidang penegakan hukum . Bahwa sebenarnya sesuai amanat undang undang Dasar dan undang undang lembaga yudikatif bersifat independen dan terbebas dari segala intervensi , yang di Indonesia lembaga ini adalah Mahkamah Agung beserta lembaga dibawahnya , dan Mahkamah Kontitusi dimana kedua lembaga yudikatif tersebut mempunyai kewenangan dan kekuasaan yudikatif yang berbeda. 

Fenomena yang terjadi saat ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat, yang selalu berperan aktif pada setiap lini kehidupan bernegara yang memang dibutuhkan dalam masyarakat modern , yakni pers atau media , dimana fenomena pemberitaan oleh pers atau media baik media cetak, media elektronik seperti TV , maupun media online melalui internet , yang awalnya merupakan pengontrol dalam penerapan Hak asasi manusia dan pengontrol kekuasaan bagi pemerintah agar tidak menjadi kekuasaan yang Absolute, telah bergeser peran dan fungsinya dimana media atau pers berperan aktif selaku pendukung pemerintahan dalam kaitan kepentingan dalam sistem multi partai dan sistem pemilihan langsung , yang sangat ditentukan oleh keputusan pemilik dari media tersebut, yang kalau boleh saya katakan seperti pisau bermata dua , dimana mata yang satu sebagai pengontrol dan peliput berita, yang kedua sebagai pendukung kebijakan penguasa yang bertugas melakukan. Sosialisasi dan pembenaran atas peran penguasa . Lebih lebih pada masa Reformasi saat ini, banyak sekali berdiri dan menjamurkan lembaga swadaya masyarakat , telah dijadikan alat untuk menghantam dan menakuti yang dilakukan oleh direksi BUMN , yang kadang sangat merugikan Kas Negara, yang karena peranya sangat fital saat ini, Kani bahkan berpendapat, Bahwa media , Pers, LSM , telah berperan menjadi angkatan ke 4 dalam Teory nya John Lockook maupun Montesquie , menjadi , kekuasaan Eksekutif , Legislatif, Yudikatif , dan mediatif, atau LSM tif, yang saat ini peran mereka sangat diperhitungkan , dan itu terjadi juga pada negara Maju macam Amerika, cuma LSM di Indonesia belum bisa diterima untuk berjaga sebagai menjaga Stabilitas , Yang oleh beberapa oknum LSM telah melakukan tindakan tercelaa . Disamping lembaga , Eksekutif , Legislatif dan Yudikatif .

Banyak oknum oknum untuk melakukan tindakan pengancaman pada masyarakat kita, ada yg mengancam, apakah perkara jalan terus, sesuai kepentingan terlawan sesuai faktor kepentingan dari para kasus di media tersebut dan itu terjadi di Negeri ini. 

Jadi suatu fenomena terjadi seolah olah ada angkatan ke empat ( 4 ,) dari pembagian kekuasaan kita disamping , eksekutif' Legislatif dan yudukstif , serta media atau pers.

Media katakan lah atau dunia pers kerap memberitakan kasus seumpama korupsi , sudah begitu bombastis pemberitaan nya , padahal belum diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap ( Incrach Van Gewisde ) telah terlebih dahulu memvonis dalam pemberitaan nya yang berakibat terjadi Pembunuhan karakter terhadap seseorang , yang tentu berakibat berantai bagi yang bersangkutan , demikian juga menjamurnya LSM LSM saat ini kadang tidak jelas pada bidang ada dan untuk kepentingan apa dibentuk , karena adanya kebebasan dalam berekpresi dan menyampaikan pendapat tadi yang telah diatur oleh UUD 1945 , dan ini adalah realitas dalam hidup berbangsa dan bernegara saat ini.

Tidak hanya itu, terkadang media digunakan bahan atau alat kampanye oleh penguasa atau instansi tertentu , demi citra dan kapabilitas dari lembaga dan instansi tertentu , yang selalu memberitakan baik terhadap yang punya kepentingan politik , tergantung dari kepentingan CEO dari media tersebut , yang seharusnya bisa sebagai penyeimbang dan pengontrol kekuasaan agar tidak terjadi kekuasaan yang bersifat Absolute , serta sebagai pencerah dan penerang bagi masyarakat dalam pendidikan baik secara politik, sosial dan budaya . Hal ini semata mata pers dan lembaga lembaga swadaya tersebut telah berkiblat dan berorientasi pada keuntungan profit sepertinya hal nya sebuah Perseroan , yang telah meninggalkan kepentingan sosial nya. 

Fenomena marak nya media sosial , yang secara spontan melakukan rekaman video, pada setiap kejadian yang dianggap ketidak Adilan dalam masyarakat, baik itu dalam bentuk kejadian arogansi di jalan raya, adanya korban jambret, bahkan investigasi ala kang Dedy Mulyadi dalam kasus Vina Cirebon , menunjukan suatu gejala bahwa aparat penegak hukum kurang responsif , jikalau tidak diviralkan terlebih dahulu, dan terbukti aparat cepat bertindak dan merupakan sebuah Laporan Polisi secara langsung tanpa proses verbal , hal ini terjadi kecenderungan adanya pergeseran nilai nilai kekuasaan dalam sebuah negara demokrasi modern , dan bukan hanya di Indonesia , bahkan di Amerika sekalipun , dimana kekuatan ke empat dalam pembagian kekuasaan yang dulu diciptakan oleh John Loch yang disempurnakan oleh Montesquie, yang membagi tiga pilar kekuasaan dalam negara, telah berkembang secara alami dan pasti menjadi empat pilar kekuasaan , dimana Media Sosial, Pers ( Media resmi ) , Lembaga Swadaya masyarakat ( LSM ) yang kerap melakukan laporan laporan ketidak Adilan dimana mana, terlepas apakah itu murni berjuang untuk ketidak Adilan atau kah memang ada kepentingan , yang pasti saat ini cenderung telah menjelma menjadi kekuatan ke empat dalam pembagian kekuasaan. Kekuatan ke empat dalam pembagian kekuasaan secara non formal ibarat dua sisi mata uang , uang tidak bisa dipisahkan dan dipungkiri, antara membela ketidak Adilan dan disisi lain membela pihak yang membayar walau dalam ketidak Adilan , yang kadang telah melakukan sebuah putusan sepihak yang tidak disadari menimbulkan stikma negatif dalamasyarakat yang menimbulkan dampak penghukuman sosial di lingkungan yang tidak disadari merupakan pembunuhan karakter sebelum proses peradilan di jalankan . 

Sebenarnya istilah yg tepat digunakan (dengan merujuk pada pendapat Crince Leroy) adalah "kekuasaan Keempat" yg berada di luar 3 cabang kekuasaan menurut doktrin "Trias Politica"nya Montesquieu. 

Dinamika / perkembangan issue global (antara lain issu Demokratisasi dan HAM) yg membuka peluang /akses kepada 'civil sociaty' untuk bangkit dan tampil aktif berperanserta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melalui media masa mainstream (media masa cetak, elektronik, dan medsos) dan menjamurnya LSM-LSM. Terlebih dgn semakin pesatnya perkembangan IT, semakin memudahkan 'civil sociaty' memainkan perannya mengontrol praktek penyelenggaraan negara ataupun praktek dalam segala bidang kehidupan bermasyarakat, termasuk mengontrol 3 cabang kekuaaan negara, baik itu Legislatif, Eksekutif, maupun Yudikatif (khususnya dalam penegakkan hukum). Media pers, misalnya, apakah media cetak, elektronik, dan terutama media sosial, - disengaja atau tidak- sering tampil sebagai rivalitas kekuasaan kehakiman (yudikatif) lewat "Trial by the press" yg men-judge, bahkan cenderung mem-vonis, sehinga tidak dapat dihindari seringnya terjadi pembunuhan karakter (character assacination). Sering pula terjadi bhw setelah terjadi sesuatu yg di-viral-kan, mampu mengubah prilaku, style, dan pola penyelesaian aparat / birokrat menjadi responsif. Masih banyak lagi praktek atau dalam kenyataan empiris menunjukkan peran civil sociaty yang terkanalisasi ke dalam berbagai jenis media dan LSM (akibat dari mondialnya issu demokratisasi dan HAM) semakin lama semakin menguat, bahkan menandingi dan melampai 3 cabang kekuasaan yg ada, yang kini sudah menjelma menjadi "Kekuasaan Keempat".

Apakah memang kebebasan seperti ini lah yang dicita-citakan citakan oleh para pendiri bangsa dulu dalam membentuk negara ini, dalam hal kebebasan berpendapat dan berekpresi duka umum ? Atau kah memang karena ketidak Adilan yang lambat direspon para penegak hukum , dan ketidak Adilan yang dipertontonkan oleh elit kekuasaan hingga masyarakat timbul apatis me lalu bergerak dengan kesadaran dalam bentuk protes sosial ? Mari kita renungkan bersama dan berkaca pada diri masing masing , untuk Indonesia kedepan yang lebih baik . dan merupakan Pekerjaan Rumah bagi presiden terpilih nanti pada bulan Nopember saat dilantik . 


Tinggalkan Komentar