telusur.co.id - Naiknya harga minyak goreng di pasaran membuat beban masyarakat bertambah berat. Untuk meringankannya, Wakil Ketua Komisi VI DPR, Martin Manurung meminta kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) agar bergerak cepat untuk menurunkan harga minyak goreng di masyarakat.
"Kami dari Fraksi NasDem meminta Menteri Perdagangan memastikan bahwa Permendag tentang harga eceran tertinggi itu benar-benar terlaksana," ujar Martin Manurung dalam keterangan tertulisnya, Senin (31/1/2022).
Untuk diketahui, per 1 Februari 2022, Permendag 06 tahun 2022 tentang harga eceran tertinggi untuk minyak goreng sawit: minyak goreng curah sebesar Rp 11.500 per liter. Minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter.
Diakuinya, dengan adanya penurunan harga minyak goreng di pasaran ini akan membuat masyarakat tenang dan tidak akan terjadi lagi antrean masyarakat untuk membeli minyak goreng karena terjadi panic buying.
Ketua DPP Partai NasDem ini juga mengapresiasi kebijakan operasi pasar terkait minyak goreng di pasaran. Kata Martin, operasai pasar itu satu dari sistem pengendalian harga komoditas.
Namun, Martin juga meminta Kemendag melaksanakan pengawasan secara ketat terhadap pelaksanaan program operasi pasar minyak goreng sesuai harga yang ditentukan untuk mencegah adanya penimbun komoditas oleh oknum yang tidak bertanggungjawab serta memastikan ketersediaan minyak goreng di pasaran.
"Jadi, kami minta kepada seluruh jajaran Kemendag untuk kembali aktif mengecek pasar di seluruh Indonesia apakah harga eceran tertinggi itu terlaksana atau tidak. Jangan hanya menunggu laporan. Cek juga gudang-gudang yang ada, baik itu gudang Kementerian Perdagangan, Bulog dan lain sebagainya sehingga kita tahu betul ada penimbunan atau tidak," kata dia, mengingatkan.
Agar kasus meroketnya minyak goreng ini tak terulang lagi, politisi asli Sumatera Utara ini meminta kepada Kemendag agar mengingatkan kepada produsen CPO untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu. Hal ini perlu diingatkan karena 90 persen dari komoditi untuk ekspor.
"Kalau komiditi ekspor yang juga produsuen CPO tidak menaati harga eceran tertinggi yang sudah ditetapkan oleh Mendag maka jangan kasih izin ekspornya, untuk mamastikan para produsen mematuhi market obligation dan domestic price obligation yang sudah ditetapkan. Jadi, Permendag itu tidak hanya menjadi macan kertas, tapi juga bisa terlaksana," pungkasnya. [ham]