Telusur.co.id - oleh Pangi Syarwi Chaniago (Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting)
Manuver menunda pemilu, dengan menabrak konstitusi. Dimulai dari menteri investasi, Bahlil Lahadalia mengatasnamakan pengusaha, meminta pemilu 2024 ditunda, siapa pengusaha itu? Selanjutnya ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar meminta agar pemilu ditunda 1 atau 2 tahun, katanya menyuarakan perwakilan dari bisnis para UMKM, meminta agar pemilu ditunda, siapa bisnis UMKM tersebut juga masih misteri. Terus berlanjut, Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartato, katanya saat berkunjung ke daerah Siak, menemui petani Sawit dan mendengar aspirasi dari petani tersebut yang meminta pemilu juga ditunda, alasannya harga sawitnya lagi bagus, mungkin khawatir kalau presiden ganti, harga sawit anjlok. Tak hanya sampai disitu, Ketua umum PAN, sangat disayangkan, miris sebagai partai yang lahir di era reformasi, Zulkifli Hasan ikut menyuarakan penundaan pemilu.
Berlanjut barisan pendukung di inner circle Jokowi yakni Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, membuat heboh big data 110 juta suara rakyat menginginkan gelaran Pemilu 2024 ditunda, klaim Luhut memiliki data aspirasi rakyat menginginkan penundaan pemilu 2024, katanya “110 juta macam-macam, facebook, segala macam, karena orang-orang main di Twiter, kira kira 110 juta lah”. Ayo kita tantang Luhut expose data tersebut, berani kalau bukan manipulasi data? Saya hakul yakin bentangan emperis tadi, tone suaranya sama, ada kekuatan lain yang mengkondisikan agar orkestranya sama. Dari sederetan nama tadi mulai dari Bahlil, Muhaimin, Zulkifli Hasan, Airlangga Hartato, dan terakhir Luhut adalah aktor orkestra wacana penundaan pemilu. Menurut saya, ada dugaan arsitek desain penundaan pemilu ada tangan-tangan pemeritah. Apakah para orkestrator sederatan nama-nama di atas itu tadi sedang menampar muka presiden? Apakah sedang mencari muka presiden? Atau sedang menjerumuskan presiden dalam situasi yang sulit? Para ketua umum parpol tersebut menurut saya sudah tidak pantas lagi disebut sebagai negarawan, miris mereka yang harusnya menjaga kualitas demokrasi kita, justru menjadi rayap demokrasi.
Perlu ada agenda perlawanan sipil terhadap orkestrator mendesain wacana menunda pemilu atau menambah masa jabatan presiden. Sebab agenda wacana penundaan pemilu merusak demokratisasi di Indonesia dan cacat bawaan secara konstitusional. Perlu digelorakan perlawanan sipil untuk menumbangkan kepentingan para oligarki yang tak ingin pestanya cepat berakhir, tidak mau turun tahta dari jabatannya yang sudah dibatasi/diatur konstitusi yakni 2 periode selama 10 tahun.
Perlawanan sipil adalah satu cara untuk menyelelamatkan demokrasi kita, agar dapat terwujud demokratisasi yang inklusif, agar demokrasi tidak disandera cengkraman kelompok oligarki yang ingin melanggengkan kekuasaannya berlama -lama.
Bagaimana mungkin menunda pemilu hanya karena alasan situasi ekonomi dan pandemi, dan alasan keberlanjutan ibu kota negara. Kalau saya cermati, dengan konstitusi UUD 1945 yang ada sekarang tidak ada ruang sedikitpun untuk agenda menunda pemilu.
Wacana penundaan pemilu jelas membahayakan tatanan demokrasi, menganggu siklus negara demokrasi, undang-undang dasar sudah jelas mengatur tentang pembatasan masa jabatan presiden, bukankah roh semangat amandemen pada waktu itu adalah pembatasan masa jabatan presiden? yang sebelumnya jabatan presiden tidak dibatasi konstitusi, konsekuensi logisnya Soeharto bisa 7 kali pemilu menjabat menjadi presiden. Menurut saya, justru pembatasan jabatan presiden pula menjadi salah satu ciri khas utama pembeda antara sistem demokrasi dengan otoritarianisme.
Kelompok aktor-aktor yang minta menunda pemilu atau menambah masa jabatan presiden sama saja telah “menampar wajah presiden, mengambil muka padahal presiden sudah punya muka dan ingin menjebak presiden”. Saya sebetulnya happy dengan statment tegas dari presiden, waktu itu clear sikapnya menolak. Tapi kok ngak muncul ya soal sikap presiden mengenai penundaan pemilu, yang kita tunggu-tunggu sebetulnya statement presiden misalnya “kami menghargai aspirasi masyarakat untuk menunda pemilu, tapi saya sebagai presiden bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pemilu tepat waktu sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan KPU tanggal 14 Februari 2024”.
Kalau saya melihat, sejauh ini ngak ada sikap secara terbuka presiden untuk menghentikan wacana penundaan pemilu tersebut. Apa yang dikatakan presiden soal wacana penundaan pemilu tidak sekuat sikap beliau yang clear menolak jabatan presiden tiga periode. nampak terkesan statment politik presiden mulai bergeser. Tidak sekeras di awal-awal yang dulu sikapnya menolak wacana menolak tiga periode tersebut.
Penundaan pemilu sama sekali tidak ada dasar konstitusinya, jelas menyalahi aturan main negara demokratis, ini adalah aktifitas membajak demokrasi dan mengkhianati konstitusi. Wacana penundaan pemilu maupun penambahan masa jabatan presiden tiga periode adalah wacana usang dan basi. Jangan lupa, kalau wacana ini di praktekkan maka Indonesia sudah tidak lagi memenuhi syarat lagi sebagai negara demokratis. Kapan sebuah negara dapat dikatakan demokratis yakni pertama; kebebasan sipil; kedua, partisipasi politik. Sementara ketiga; adalah karakteristik utama negara demokratis adalah terjadinya pergantian kepemimpinan (presiden) secara teratur dan reguler (periodik) melalui penyelenggaran pemilu yang demokratis.
Tolong sudahi pikiran liar yang anti demokrasi, kehendak rakyat agar kereta demokrasi terus melaju kencang, tidak ada yang bisa menghentikan jalannya trayek kereta pemilu tanggal 14 Februari 2024.