Geruduk DPR, Buruh Curigai Ada Upaya Komersialisasi Kesehatan - Telusur

Geruduk DPR, Buruh Curigai Ada Upaya Komersialisasi Kesehatan


telusur.co.id - Massa gabungan dari Serikat Buruh menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (6/2/23). Mereka menyampaikan sejumlah tuntutannya.

Adapun serikat buruh yang turun, di antara Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), dan (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) KSPI.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, poin tuntutan mereka terkait dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang diterbitkan Presiden Joko Widodo.

"Setidaknya ada sembilan poin yang dipermasalahkan dalam omnibus law Cipta Kerja. Meliputi, upah minimum, outsourcing, pesangon, karyawan kontrak, PHK, pengaturan cuti, jam kerja, tenaga kerja asing, dan sanksi pidana,” kata Iqbal dalam jumpa pers di lokasi unjuk rasa. 

Selain itu, lanjut Iqbal, buruh juga menyoroti RUU Kesehatan. Mereka mengkritisi beberapa pasal di UU BPJS, salah satunya soal Dewan Pengawas dari unsur buruh yang dikurangi menjadi satu.

"Yang membayar BPJS itu buruh. Kok wakil kami dikurangi. Kok malah unsur buruh dan pengusaha yang dikurangi? Harusnya yang dikurangi itu gaji DPR itu,” sesalnya. 

Hal lain yang disoroti adalah terkait kewenangan BPJS yang semula di bawah Presiden menjadi di bawah Menteri Kesehatan. 

Menurut Iqbal, pengelola jaminan sosial di seluruh dunia mayoritas di bawah Presiden, bukan kementerian. 

Sebab, badan penyelenggara jaminan sosial merupakan lembaga yang mengumpulkan uang dari rakyat dengan jumlah yang terus membesar, sehingga harus di bawah presiden. 

Partai Buruh juga memberikan dukungan terhadap organisasi tenaga kesehatan seperti IDI.

Surat izin praktik dokter tidak boleh dikeluarkan sembarangan, karena pelayanan kesehatan mempertaruhkan hidup dan mati pasien. 

“Secara bersamaan dengan penolakan terhadap RUU Kesehatan, Partai Buruh mendesak RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) segera disahkan. Hal ini sebagaimana yang diminta presiden,” ujarnya. 

Iqbal mengkritik, RUU yang terkait dengan kepentingan bisnis terkesan cepat disahkan. Sedangkan yang bersifat perlindungan, seperti halnya RUU PPRT yang sudah 19 tahun tak kunjung disahkan.

"Jangan-jangan ada kepentingan industri farmasi, rumah sakit swasta besar, dan membuka ruang komersialisasi kesehatan dalam RUU Kesehatan, sehingga pembahasannya terkesan cepat,” tukasnya.[Fhr


Tinggalkan Komentar