telusur.co.id - Perjanjian pisah harta atau prenuptial agreement kerap menjadi sorotan dalam dunia pernikahan. Bagi pasangan yang akan atau telah menikah, perjanjian ini berperan penting untuk melindungi aset dari masalah hukum.
Menanggapi hal ini, Pakar Hukum Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H. turut memberikan pendapatnya.
“Perjanjian pisah harta memisahkan harta yang diperoleh masing-masing pasangan, baik sebelum maupun selama perkawinan. Ini bertujuan agar tanggung jawab hukum hanya berimplikasi pada harta milik individu,” papar Prof Yudha kepada Unair News. Jumat, (26/4/2024)
Prof Yudha menjelaskan bahwa, pemisahan harta benda dalam perjanjian pisah harta tidak akan berdampak pada aset pasangan apabila terjerat kasus hukum. Menurutnya, sumber harta yang termasuk dalam perjanjian pisah meliputi harta yang diperoleh sebelum perkawinan, warisan, hadiah, hibah, dan selama perkawinan.
“Apabila terjadi tindak pidana, maka harta benda yang diperoleh suami dari hasil tindak pidana yang dapat disita. Harta benda yang diperoleh oleh istri secara sah, tidak dapat dilakukan penyitaan,” tambahnya.
Kasus Penyitaan Aset
Merujuk pada Undang-Undang KUHAP, Prof Yudha menjelaskan bahwa, penyitaan merupakan tindakan pengamanan barang bukti oleh penyidik. Sedangkan dalam perkara perdata, penyitaan dilakukan untuk menjaga harta tergugat agar tidak hilang selama sidang.
Dalam konteks penyitaan aset, menurut Prof Yudha, hanya harta pribadi yang dapat disita kecuali kasus sita revindikasi. Dalam hukum pidana, objek yang dapat disita harus sesuai dengan Pasal 39 ayat (1) KUHAP.
Prof. Yudha menegaskan bahwa, perjanjian perkawinan memiliki konsekuensi hukum yang signifikan terhadap status harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Dalam hukum pidana, ia juga mengungkapkan bahwa, terdapat upaya hukum bagi pihak ketiga yang dirugikan untuk mengajukan keberatan.
“Harta yang diperoleh selama perkawinan adalah milik pribadi. Jika harta istri disita karena gugatan terhadap suami, istri dapat mengajukan derden verzet atau perlawanan pihak ketiga yang dirugikan terhadap putusan penyitaan aset untuk membatalkan sita tersebut,” tukasnya.
Syarat Perjanjian Pisah harta
Agar suatu perjanjian pernikahan sah dan mengikat, Prof Yudha mengungkapkan terdapat beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi. Ia pun merujuk pada ketentuan Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo dan Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015.
Lebih lanjut, Prof Yudha menyarankan untuk memperhatikan dua surat penting yang membahas. Pertama, Surat Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri RI No.472.2/5876/DUKCAPIL, yang mengatur proses pembuatan perjanjian perkawinan.
Kedua, Surat Edaran Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI No. B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017, yang memberikan panduan lebih lanjut mengenai proses dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan perjanjian perkawinan.
Keabsahan Perjanjian
Untuk membuat perjanjian perkawinan yang sah, Prof Yudha menyebutkan beberapa hal yang harus terpenuhi. Pertama, pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan publisitas legal. Kedua, dokumentasi yang memperkuat perjanjian.
Jika tidak disahkan sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU 1 Tahun 1974 Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015, menurutnya, perjanjian tidak dapat mengikat pihak ketiga. Selain itu, jika tidak ada perjanjian, harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974. (aid/ari)