telusur.co.id - Ketua Presidium Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (JARI 98) Willy Prakarsa meminta tokoh Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid dan pihak yang menggulirkan isu HAM dan framing pencopotan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Probowo untuk tidak menggunakan kacamata kuda. 

"Perlu digarisbawahi itu adalah sebuah penyesatan berpikir, menggunakan nalar sehat dan salah target dari tuntutan tersebut. Usman Hamid dkk jangan melihat kepemimpinan Kapolri dengan menggunakan kacamata kuda," tegas Willy Prakarsa, Rabu (11/12/24)..

Lebih lanjut, Willy menegaskan bahwa pencopotan Kapolri adalah hak preogratif Presiden RI sepenuhnya. Dan Presiden Prabowo tentunya sudah memiliki BIN, Baintelkam dan Bais dari berbagai informasi yang jauh lebih akurat kebenarannya terkait seruan tersebut.

"Harusnya sebelum keluarkan statemen, sebaiknya Usman Hamid bersikap bijak. Minta masukan atau komentarnya dari para tokoh, akademisi, maupun Alim Ulama di seluruh Indonesia, bagaimana sosok Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo," ujarnya.

Dikatakan Willy, jika tuntutannya berkaitan dengan isu yang saat ini ramai mendapatkan perhatian publik adalah salah kamar. Seperti kasus oknum Polisi di Semarang, maupun lainnya. 

"Kasus-kasus tersebut hanyalah oknum saja. Jadi tidak gebyah uyah atau menyamaratakan ulah oknum. Masih banyak Polisi yang baik, Kapolri juga sudah menerapkan reward and punishment," katanya.

Willy pun menuding seruan tuntutan pencopotan Kapolri adalah isu titipan dari kelompok yang sakit hati dan tuntutan emosional semata. 

"Bisa jadi gerakan pencopotan Kapolri adalah isu titipan atau ada penumpang gelapnya. Ada syahwat yang tidak terakomodir," katanya.

Lebih jauh, Willy memastikan bahwa Jenderal Listyo Sigit Prabowo adalah sosok yang sangat humanis, berintegritas, agamis maupun Pancasilais. Dia juga berpesan agar semua pihak bersama-sama membantu dan mendukung program Pemerintahan Prabowo-Gibran dan jajarannya menuju Indonesia Emas.

"Hilangkan ego sentris dan tetap jalin persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa. Pro dan kontra di era demokrasi adalah hal biasa, tapi kritikan harus bersifat membangun untuk mengimplementasikan Asta Cita Pemerintah menuju Indonesia Emas 2045," pungkasnya. [Tp]