telusur.co.id - Wakil Ketua MPR Dr. H.M. Hidayat Nur Whaid, Lc, MA, atau HNW menyampaikan pesan dan nasihat kepada para santri angkatan pertama yang telah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Daar El Manshur, Depok, Jawa Barat. Dalam pesan dan nasihatnya, HNW menyampaikan bahwa pesantren tidak hanya membekali para santri dengan iman, ilmu, dan amal, tetapi semuanya disatupadukan dalam iman yang nyata, ilmu yang nyata, dan amal yang bisa dijalankan dalam kerja dan aktivitas yang nyata. Kesatupaduan itu menjadi kebiasaan di pondok pesantren. Pesantren telah memberikan arah dan modal yang luar biasa bermanfaat untuk para santri agar mereka bisa berkhidmat bagi kebaikan umat, bangsa dan negara.
“Sesuatu agar bisa menjadi tabiat, perlu dibiasakan dan diulang-ulang. Dan, komunitas yang baik untuk melakukan ini adalah Pondok Pesantren. Para santri berada di pesantren selama 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu bersama para ustad dan ustadzah. Di pesantren, para santri berada dalam lingkungan yang bisa membentuk diri, merealisasikan idealisme, iman, ilmu, dan amal,” kata HNW dalam Haflah Takharruj Pondok Pesantren Daar El Manshur Tahun Ajaran 2023 – 2024 di Aula Pondok Pesantren di Depok, pada 22 Juni 2024. Inaugurasi ini dihadiri Muwakif H. Manshur, Ketua Yayasan Al Manshuriyah Jaya H. Alwi, Lc, Dr Hery Purwosusanto, Dewan Guru Pondok Pesantren Daar El Manshur, serta para santri dan wali santri.
Menurut HNW, pondok pesantren memberikan sesuatu yang bermanfaat, yang terbaik, dan mashlahat untuk para santri yang jadi bekal utama mereka nantinya saat mengabdi bagi negeri. HNW mengutip hymne lagu “Oh Pondokku” yang menyebutkan “Ibuku adalah Pondok Pesantren”. “Kita diingatkan bahwa sesungguhnya kita punya tiga ibu. Ibu yang pertama adalah Ibu Pertiwi, Indonesia ini. Ibu yang kedua adalah Ibu kandung. Dan ketiga, ibuku adalah pondokku. Seorang Ibu pasti mengajarkan anaknya sesuatu yang terbaik, yang mashlahat, dan yang membawa kebaikan kepada anak-anak mereka, baik ketika masih bersama dengan ibunya, dan terutama bekal kehidupan setelah tidak bersama dengan ibunya. Begitulah ibu memikirkan yang terbaik bagi anak-anaknya, untuk diri anaknya, keluarganya, umat, bangsa dan negara. Dan Pesantren juga mengajarkan pentingnya berbakti pada Ibu dan larangan berlaku durhaka kepada semua jenis Ibu,” ujarnya.
Karena itu, HNW mengingatkan para santri untuk bersyukur kepada Allah, berterimakasih kepada muwakif, kepada pimpinan pondok pesantren, para kiai, ustad dan ustadzah, serta para guru. “Karena mereka mengajarkan kepada kepada kita untuk terbiasa serius, bekerja keras, berpikir cerdas dan beramal Ikhlas dan berbakti kepada Ibu. Para santri diberikan bekal, tidak hanya bekal iman, ilmu, dan amal, tetapi semuanya disatupadukan dalam kerja nyata, aktivitas nyata, iman yang nyata, ilmu yang konkrit, dan amal yang bisa dijalankan,” jelasnya.
HNW mengungkapkan nilai-nilai pesantren itu perlu dihayati dengan benar. “Berkah dari belajar di pesantren, karena sudah mendarah daging dan menjadi jati diri kita, maka kita terbiasa untuk berusaha menguasai ilmu pengetahuan, terbiasa belajar keras, termasuk juga terbiasa berolahraga. Maknai semuanya sebagai pembekalan yang akan panen pada waktunya nanti,” tuturnya.
Di depan para santri, HNW menceritakan pengalamannya ketika memimpin lembaga MPR menghadapi persoalan terkait pidato pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dipilih secara langsung pada tahun 2004. “Kaidah di pesantren mengajarkan bahwa sunah tidak boleh mengalahkan yang wajib. Yang wajib harus didahulukan ketimbang yang sunnah. Sukses pelantikan Presiden dan pergantian kekuasaan secara damai adalah wajib, sedangkan pidato adalah sunnah. Maka saya minta Pak SBY untuk menyampaikan pidato nanti di Istana Negara agar tidak ada hal-hal yang bisa menggagalkan pelantikan presiden. Alhamdulillah Pak SBY mengerti, dan pelantikan presiden berjalan lancar tanpa kendala,” katanya.
Keberhasilan dalam pelantikan presiden, lanjut HNW, tidak lepas dari pengalaman selama berada di pesantren. “Ini adalah kebiasaan. Di pesantren kita dibiasakan untuk bertanggungjawab, mencari solusi, bekerjasama, berani mengambil keputusan, berani berkomunikasi. Karena itu, kebiasaan yang santri dapatkan di pesantren maknailah bahwa itu sesuatu yang sangat berharga,” kata Santri alumni Pondok Modern Darussalam Gontor ini.
“Ikuti saja, jalani semuanya, apa yang diarahkan ustadz dan ustadzah. Jalani secara maksimal, ikuti dengan Ikhlas, ikuti dengan semangat, ikuti dengan gairah penuh dengan kemauan untuk turut dikembangkan,” sambungnya.
HNW menambahkan, Pesantren sekarang ini merupakan entitas yang sama legalnya dengan sekolah umum. Karena itu alumni pesantren sama haknya dengan alumni sekolah umum untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. “Kami, alumni Pesantren yang ada di Parlemen, sudah berhasil menghadirkan payung hukum berupa UU Pesantren. Maka aspek legal sudah ada, pintu sudah dibukakan lebar-lebar. Kami sudah bentangkan karpet merah seluas-luasnya, tinggal para santri untuk melanjutkannya, bahkan melanjutkan kiprah bagi umat, bangsa, dan negara. Apakah menjadi penerus pesantren, pimpinan ormas, pimpinan lembaga negara, pimpinan kampus, ekonom, pebisnis, atau apa saja. Semuanya dimungkinkan karena pesantren dan komunitasnya telah terbukti memberikan arah dan kontribusi positif bagi Indonesia, dan telah memberikan modal yang penting dan bermanfaat untuk para santri semuanya agar mereka bisa berkhidmat bagi Ibu mereka: Indonesia,” pungkasnya.