telusur.co.id - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengapresiasi kontribusi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dalam pembangunan bangsa. Khususnya dalam pembangunan mental dan karakter sumberdaya manusia, melalui kegiatan dakwah penerapan ajaran Islam yang dilakukan secara berkesinambungan dan terintegrasi. Termasuk memanfaatkan dunia digital melalui berbagai platform media sosial seperti Youtube, Instagram, Facebook, Tiktok, Twitter, dan lainnya. Pembangunan karakter ini penting, karena kemajuan peradaban suatu bangsa tidak hanya bergantung pada dukungan infrastruktur fisik, melainkan pada mentalitas sumberdaya manusianya.

LDII juga concern dengan berbagai isu kebangsaan. Tidak heran jika dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Tahun 2023 ini yang dibuka oleh Presiden Joko Widodo, LDII juga menyelenggarakan pembekalan materi yang meliputi berbagai bidang pembangunan. Salah satunya terkait Tantangan dan Peluang Menyiapkan Format Demokrasi Pancasila untuk Visi Indonesia Emas 2045. Tema tersebut sangat penting, terlebih di tengah upaya memajukan kehidupan demokrasi yang cenderung 'jalan di tempat', bahkan mengalami kemunduran pada beberapa aspek.

"Demokrasi kita masih berada di level 'Ngeri-Ngeri Sedap', ditandai masih adanya money politic atau dikenal dengan istilah 'Nomor Piro Wani Piro (NPWP)'. Mereka yang terpilih dalam Pemilu maupun Pilkada, bukan hanya sekadar karena integritas, kredibilitas, maupun popularitas. Melainkan juga karena 'isi tas'. Itulah realitasnya. Hal ini juga tercermin dari laporan The Economist Intelligent Unit yang dirilis pada Februari 2023, mengungkapkan bahwa indeks demokrasi Indonesia berada pada skor 6,71, atau mengalami stagnasi dari tahun sebelumnya. Secara peringkat, posisi kita juga menurun dari posisi 52 ke posisi 54, dari 167 negara yang disurvei," ujar Bamsoet dalam Rakernas LDII Tahun 2023, di Jakarta, Selasa (7/11/23).

Turut hadir pengurus LDII antara lain, Pembina Umum KH. Edy Suparto, Ketua Umum KH. Chriswanto Santoso, Sekretaris Umum Dody Taufiq Wijaya, Ketua Harian Prof. Singgit, serta para Ketua DPW LDII se-Indonesia.

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, demokrasi di Indonesia juga masih dikategorikan sebagai 'demokrasi cacat' (flawed democracy). Artinya, demokrasi prosedural seperti Pemilu dilaksanakan secara adil dan bebas; kebebasan sipil dasar dihormati; tetapi masih menyisakan berbagai persoalan. Misalnya terkait pembangunan budaya politik, tingkat partisipasi politik, hingga kebebasan media.

"Penurunan kualitas kehidupan demokrasi memang dialami oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Sekitar 85 dari 173 negara setidaknya mengalami penurunan pada satu indikator utama kinerja demokrasi. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir, dunia mengalami resesi demokrasi terpanjang sejak 1975. Namun kondisi realitas global tersebut tidak boleh dijadikan sebagai alasan atau alat pembenar untuk berdiam diri, dan enggan untuk memperbaiki diri," jelas Bamsoet.

Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, Indonesia sejatinya telah memiliki Demokrasi Pancasila yang meniscayakan nilai-nilai luhur Pancasila senantiasa menjadi inspirasi, rujukan, dan tujuan bersama. Demokrasi Pancasila menekankan nilai atau budaya, di mana rakyat bisa memiliki kedaulatan dalam arti yang sesungguhnya. Di samping itu, implementasi demokrasi Pancasila harus bermuara pada kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Mengimplementasikan Demokrasi Pancasila, adalah menjaga agar jangan sampai demokrasi menghadirkan residu dan sisi gelap. Di mana nilai-nilai demokrasi dimanifestasikan dengan cara yang menyimpang, misalnya dalam bentuk operasi kuasa absolut mayoritas terhadap minoritas.

"Salah satu esensi Demokrasi Pancasila adalah adanya keseimbangan. Hal ini dimasa lalu disalurkan melalui keterwakilan politik yang dipegang DPR RI, keterwakilan daerah yang dipegang Utusan Daerah (kini beralih menjadi DPD RI), serta keterwakilan Golongan yang dipegang Utusan Golongan. Namun melalui empat kali amandemen konstitusi, Utusan Golongan justru dihapuskan," terang Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, gagasan menghadirkan kembali Utusan Golongan sebagai bagian dari keanggotaan MPR RI adalah hal yang rasional untuk dipertimbangkan. Gagasan tersebut sudah mendapatkan dukungan dari berbagai organisasi masyarakat seperti PB Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, dan berbagai kelompok masyarakat lainnya.

Pembentukan Utusan Golongan dalam lembaga perwakilan adalah amanat dan legasi kesejarahan yang telah diwariskan sejak cita-cita awal kemerdekaan. Utusan Golongan secara prinsipil telah dikonsepkan oleh para pendiri bangsa sebagai bagian dari keterwakilan rakyat Indonesia yang plural, dengan mendudukkan MPR RI sebagai lembaga negara yang merepresentasikan keterwakilan politik, keterwakilan daerah, dan keterwakilan golongan.

"Sebagaimana landasan pemikiran founding fathers Presiden Soekarno yang jelas dan tegas mengatakan bahwa tidak boleh ada satupun elemen bangsa yang ditinggalkan, sehingga lembaga perwakilan pun harus merepresentasikan seluas-luasnya kepentingan rakyat," pungkas Bamsoet.[iis]