telusur.co.id - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, dengan RKUHP, negara tengah berusaha masuk ke dalam hak individu seseorang yang seharusnya tak boleh diurusi negara.
Dia mengatakan, penerapan pasal perzinahan dalam RUU KUHP bisa mengancam hak privat masyarakat.
"Contoh zinah, itu kan bermacam-macam karena ada yang bilang perkawinan adalah monogami mutlak sehingga banyak yang berpoligami izin dengan lain-lain akan tetap dianggap zina, yang mana yang mau kita ambil?," kata Asfinawati di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9/19).
Menurutnya, hukum tentang perzinahan di RKUHP bisa menimbulkan adanya kriminalisasi.
"Misalkan, ini akan chaos dimasyarakat orang dengan gampang melaporkan (orang berzinah)," jelas dia.
Sementara itu, pakar hukum Supardji Ahmad mengatakan, pasal perzinahan ini diterapkan untuk melindungi perempuan.
"Ini kan kepentingan umum. Kalau misalnya ada yang merugikan warga negara sebagai korban, maka negara harus hadir," jelas Supardji.
Ia juga menyebut, keluarga yang yang dirugikan nantinya bisa melaporkan kepada penegak hukum bahwa sudah terjadi perzinahan.
"Nanti penyidik akan turun dengan mengumpulkan fakta yang ada. Hingga melakukan pemeriksaan terhadap saksi - saksi ahli," jelas Supardji yang juga pengajar dari Universitas Al Azhar ini.
Untuk diketahui, Panitia Kerja (Panja) RKUHP memang sudah menyelesaikan pembahasan hukum tersebut pada awal pekan ini. RKUHP akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disahkan pada 24 September 2019.
Salah satu pasal dalam RUKHP yang menjadi sorotan adalah soal perzinahan. Pembahasan itu terbagi di pasal 417, 418, 419, dan 420.
Pasal 417 RKUHP mengatur ancaman tindak pidana selama satu tahun terhadap orang yang melakukan seks di luar hubungan pernikahan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya bisa terancam pidana karena perzinahan.
"Terancam pidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II," demikian bunyi pasal 147 ayat 1 dalam RKUHP. [Fhr]