Indonesia Butuh Capres yang Berani Evaluasi Program Hilirisasi Jokowi - Telusur

Indonesia Butuh Capres yang Berani Evaluasi Program Hilirisasi Jokowi


telusur.co.id - Anggota Komisi VII DPR Mulyanto, kritik keras pelaksanaan program hilirisasi sumber daya alam (SDA) Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Alasannya, hilirisasi yang dijalankan Jokowi lebih banyak merugikan negara dan merusak lingkungan hidup. 

Karena itu, ia berharap di Pilpres 2024 akan terpilih figur pasangan yang berani mengoreksi dan mengevaluasi program hilirisasi SDA yang berjalan selama ini. Tujuannya agar pengelolaan SDA dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.  

"Kasus ledakan smelter PT. ITTS di Kawasan IMIP yang sampai hari ini mencapai 18 orang korban tewas adalah kasus terbesar dalam sejarah pengoperasian smelter nasional. Kalau tidak ada tindakan korektif dari Pemerintah kita khawatir, smelter ini akan menjadi mesin pembunuh para pekerja kita," ujar Mulyanto, ditulis Kamis (28/12/23).

Berdasarkan kasus tersebut, Mulyanto menegaskan bahwa saat ini industri smelter wajib diaudit total untuk menjamin keselamatan pekerjanya. Selain itu, Presiden dan Pemerintah ke depan harus mengkaji ulang program hilirisasi mineral yang digencarkan Jokowi.

"Sudah banyak kritik yang diberikan berbagai pihak terhadap program hilirisasi ini, namun kurang direspons dengan baik oleh pihak Pemerintah. Yang sering muncul hanyalah pembelaan," terang Mulyanto. 

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR ini menambahkan, sampai saat ini industri smelter mendapat banyak keuntungan, mulai dari harga bijih ore yang murah, tax holiday, kemudahan mendatangkan peralatan dan mesin, TKA, sumber energi yang kotor; produk nikel yang bernilai tambah rendah berupa NPI (nickel pig iron) dan Feronikel dengan kandungan nikel kurang dari 10 persen, bebas bea ekspor, dan lain-lain. 

"Karena itu kita meragukan optimalitas penerimaan negara dari industri smelter ini," ujarnya. 

Ia mengakui bahwa nilai ekspornya tinggi, tetapi keuntungan yang diperoleh sebagian besar masuk ke negara asal investor bukan menjadi penerimaan negara.

Padahal, di sisi lain cadangan nikel makin menipis tinggal di bawah 10 tahun operasi. Ketika terjadi kasus di Blok Mandiono dan dilakukan pelarangan penambangan nikel di blok itu, beberapa industri smelter terpaksa melakukan impor bijih nikel. 

"Ke depan yang perlu kita percepat adalah industrialisasi mineral dengan nilai tambah dan multiflier effect yang tinggi, bukan sekedar hilirisasi setengah hati dengan produk setengah jadi dengan nilai tambah rendah. Jangan sampai nikel kita keburu habis saat kelak kita butuhkan untuk industrialisasi. Belum lagi keberadaan material ikutan yang juga terbawa, yang kita tidak tahu berapa nilainya," imbuhnya.[Fhr] 


Tinggalkan Komentar