Indonesia di Tengah Badai Geopolitik: Membangun Ketahanan dari Konflik Timur Tengah - Telusur

Indonesia di Tengah Badai Geopolitik: Membangun Ketahanan dari Konflik Timur Tengah


Telusur.co.id -Penulis: Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Ahmad Dahlan.

Eskalasi konflik Iran-Israel kembali mengguncang kawasan Timur Tengah—wilayah yang sudah lama menjadi titik api geopolitik dunia. Meski jauh dari pusat konflik, Indonesia tidak kebal terhadap dampaknya. Sebagai ekonomi yang terintegrasi dalam pasar global, Indonesia rentan terhadap guncangan eksternal, terutama yang berkaitan dengan pasokan energi dan stabilitas keuangan.

Dampak paling langsung terasa pada sektor energi dan makro ekonomi. Timur Tengah adalah jantung produksi dan jalur distribusi minyak dunia. Ketegangan geopolitik di wilayah ini memicu lonjakan harga minyak secara global. Data dari Trading Economics menunjukkan bahwa pada 23 Juni 2025, harga minyak Brent sempat melonjak dari 77,1 menjadi 79,2 dolar AS per barel—tertinggi sejak Januari. Kenaikan ini berdampak luas: bagi Indonesia yang masih mengimpor minyak, hal tersebut berarti peningkatan beban pada Anggaran Negara, risiko inflasi yang semakin menguat, dan potensi kenaikan harga BBM yang dapat menekan daya beli masyarakat.

Konflik juga menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Ketika ketidakpastian global mendominasi, investor cenderung mengalihkan modalnya dari negara-negara berkembang ke aset safe haven seperti dolar AS atau obligasi pemerintah AS. Akibatnya, nilai tukar rupiah tertekan, terjadi capital flight, tekanan terhadap cadangan devisa meningkat, serta beban utang luar negeri yang semakin memberatkan.

Di sisi perdagangan, gangguan logistik akibat konflik diprediksi akan menaikkan ongkos pengiriman. Kenaikan harga impor bahan baku dan pangan menjadi faktor yang dapat memperlambat pertumbuhan sektor industri domestik. Jika mitra dagang utama Indonesia mengalami perlambatan akibat dampak konflik ini, maka permintaan terhadap ekspor Indonesia juga berpotensi menurun dan menurunkan pertumbuhan nasional secara keseluruhan.

Di tengah setiap krisis, tersembunyi peluang strategis bagi negara yang sigap dan cermat membaca situasi. Negara-negara yang mampu merespons cepat biasanya dapat memetik keuntungan jangka menengah hingga panjang. Rusia, misalnya, mencoba mengisi kekosongan suplai minyak Iran di pasar global dengan meningkatkan ekspor ke Eropa, dengan memanfaatkan posisi OPEC di Timur Tengah yang sedang tertekan akibat risiko penutupan Selat Hormuz. Dalam konteks ini, Indonesia juga memiliki ruang untuk mengambil posisi strategis. Ketika rantai pasok global terguncang, negara yang menawarkan stabilitas dan kesiapan infrastruktur dapat menjadi alternatif baru dalam sistem logistik dan perdagangan dunia. Untuk mendukung hal ini, Indonesia perlu memperkuat kapasitas produksi nasional, melakukan modernisasi pelabuhan, serta memperlancar konektivitas logistik antarwilayah agar tetap bersaing dalam lanskap ekonomi global yang terus berubah.

Seiring dengan peluang dalam sistem logistik, kondisi geopolitik yang tidak menentu juga membuka kesempatan bagi Indonesia untuk menarik investasi asing langsung (FDI), terutama di sektor energi, manufaktur, dan industri strategis. Saat suplai global terganggu, banyak pasar internasional mengalami kekosongan pasokan yang dapat dimanfaatkan Indonesia untuk meningkatkan ekspor komoditas unggulannya. Namun, semua potensi ini hanya dapat diwujudkan apabila kondisi dalam negeri tetap stabil. Ekonomi yang kuat memerlukan fondasi politik yang kokoh, sistem pertahanan yang andal, serta jaminan keamanan nasional. Stabilitas di ketiga aspek tersebut menjadi kunci utama kepercayaan investor dalam menanamkan modal jangka panjang dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Krisis energi global juga seharusnya menjadi momentum untuk mempercepat kemandirian energi. Visi Presiden Prabowo tentang kedaulatan energi harus dituangkan dalam cetak biru transisi yang disiplin, dengan mempercepat pengembangan energi terbarukan seperti panas bumi, surya, dan bioenergi. Pada saat yang sama, data menunjukkan bahwa pemanfaatan potensi energi baru dan terbarukan di Indonesia masih stagnan di sekitar 12,5%. Hal ini perlu menjadi perhatian serius karena negara-negara seperti India dan Brasil telah berhasil menurunkan ketergantungan mereka terhadap energi fosil melalui diversifikasi sumber energi yang tidak hanya mendorong aspek lingkungan, tetapi juga memiliki nilai strategis secara geopolitik.

Selain penguatan sektor energi, konflik global juga menegaskan urgensi hilirisasi industri. Dengan mengolah komoditas dalam negeri menjadi produk bernilai tambah, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor, memperkuat rantai pasok domestik, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Kebijakan untuk mereformasi tata kelola sektor energi dan industri harus mengurangi praktik-praktik yang hanya menguntungkan segelintir elit. Transisi menuju hilirisasi dan energi terbarukan hanya akan sukses jika diiringi dengan partisipasi publik, stabilitas regulasi, serta lembaga yang inklusif.

Krisis ini seharusnya menjadi pemicu bagi Indonesia untuk mempercepat reformasi energi, hilirisasi industri, dan penguatan ekonomi nasional secara menyeluruh.

Respons cepat Indonesia dalam mengecam agresi serta upaya pengevakuasian WNI dari wilayah konflik menunjukkan bahwa prinsip politik luar negeri bebas aktif tetap relevan. Di tengah disrupsi global, posisi Indonesia sebagai demokrasi terbesar di kawasan dan anggota G20 memberikan ruang besar bagi peran strategis: menjaga stabilitas regional dan menjadi jembatan dialog di antara kutub-kutub kekuatan dunia yang semakin terpolarisasi.

Dengan kebijakan yang tepat, koordinasi lintas sektor, dan komitmen semua elemen bangsa, Indonesia bukan hanya bisa bertahan, tetapi juga mengambil peran lebih besar dalam percaturan global yang sedang berubah cepat.


Tinggalkan Komentar