Telusur.co.id - Oleh : Denny JA
⁃ Pengantar untuk “Negara dalam Gerimis Puisi,” Buku Puisi Esai Seorang Aktivis Isti Nugroho
“Manusia bisa mati. Negara bisa jatuh dan hilang. Tetapi gagasan yang kuat akan terus hidup dari generasi ke generasi.”
Demikianlah kutipan dari John F. Kennedy. Ini yang teringat ketika saya membaca puisi esai Isti Nugroho berjudul: Berkisar di antara Soekarno dan Sjahrir.
Dua pendiri negara itu, Bung Karno dan Bung Sjahrir, sudah wafat puluhan tahun lalu. Tapi gagasannya terus hidup. Gagasan mereka juga hidup dalam sikap politik Isti Nugroho. Ia ekspresikan itu lewat kata-kata:
“Di antara Soekarno dan Sjahrir
Kutemukan dua mata air.
Deras mengalir ke tanah-tanah kering.
Menjelma jadi sungai-sungai bening.”
Isti Nugroho menceritakan perjumpaannya dengan pemikiran Bung Karno dan Bung Sjahrir melalui metafora:
“Semasa kecil aku suka mandi di sungai yang dijaga Pak Marhaen.
Suara deburan dan kecipak air mengiringi nyanyian kami: “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis!”
Pak Marhaen tersenyum, sambil mengayunkan cangkulnya di sawah atau menatap gubuknya yang mengepulkan asap putih.”
“Istriku masak ketela, kalian makanlah!” ucapnya seru, suaranya seperti memanggil burung-burung.”
Isti Nugroho juga mengisahkan pertemuannya dengan pemikiran Bung Sjahrir dengan simbol.
“Esoknya, kami pun bermain di sungai lain yang dijaga Pak Sosialis.”
“Sungai itu jernih dan tenang, airnya terasa manis.
Ada kanal-kanal air untuk menggenangi sawah dan ladang.”
“Sungai tak bisa dibiarkan liar. Harus ditata dan diatur agar orang rakus tak bisa menguasai air!” Pak Sosialis bicara agak keras.
Di akhir puisi, Isti juga menceritakan riwayat kedua pendiri bangsa itu tidak baik-baik saja. Tapi pemikiran dan gagasan mereka terus memberi inspirasi:
“Kami berharap sungai Pak Marhaen mengirimkan air bah hingga mengguncang bumi dan meluaskan sawah ladang.
Juga memaksa kerbau-kerbau milik para juragan lepas dari kandang.
Namun air bah itu tak pernah datang.”
Isti juga mengekspresikan hal yang sama terjadi pada Sutan Sjahrir:
“Tanpa sadar, Pak Sosialis menghilang
Meninggalkan jejak dalam tabung ingatan.”
Sangatlah bagus jika Isti Nugroho mendapat inspirasi dari dua tokoh yang pilihan politiknya justru sering berseberangan.
Memang mereka awalnya bersahabat dan satu kubu. Namun perjalanan waktu memisahkan mereka. Bung Karno bahkan akhirnya memenjarakan Bung Sjahrir.
Di bawah bayang-bayang penjajahan Belanda, Bung Karno dan Bung Sjahrir awalnya berdiri sebagai dua sahabat yang berbagi mimpi besar. Mereka dua bintang di langit perjuangan, menerangi jalan menuju kemerdekaan.
Soekarno, dengan kharismanya yang memukau, menggerakkan massa melalui pidato-pidato membara. Sjahrir, dengan kecerdasan dan tulisannya yang tajam, memberikan arah dan strategi. Bersama-sama, mereka menanam benih harapan di tanah air yang terjajah.
Namun, ketika Jepang datang, jalan mereka mulai berbeda. Soekarno memilih jalan kerjasama, kooperasi. Dia melihat Jepang sebagai peluang, sebagai jembatan menuju kemerdekaan. Bung Karno memanfaatkan setiap celah untuk memperkuat gerakan nasional.
Di sisi lain, Sjahrir memilih jalan tidak kerjasama dengan Jepang, non-kooperasi. Dia skeptis terhadap janji-janji Jepang. Ia lebih memilih bergerak di bawah tanah, menyusun rencana dari akar rumput.
Dua sahabat ini mulai mengambil jalan yang berbeda, meski tujuan mereka tetap sama: kemerdekaan Indonesia.
Saat proklamasi kemerdekaan tiba, perbedaan itu semakin mencolok. Sjahrir, sebagai Perdana Menteri pertama, mendorong demokrasi parlementer.
Ia percaya pada partisipasi politik yang luas dan kebebasan sipil. Demokrasi, menurutnya, adalah cermin dari kedaulatan rakyat.
Soekarno, sebaliknya, semakin frustasi dengan ketidakstabilan politik. Ia memperkenalkan Demokrasi Terpimpin, di mana presiden memegang kendali penuh. Soekarno melihat ini sebagai jalan untuk memastikan stabilitas dan kemajuan.
Dua visi ini, satu tentang kebebasan dan yang lain tentang kekuatan terpusat, mulai memisahkan mereka.
Perbedaan pandangan juga tampak dalam sikap mereka terhadap komunisme. Soekarno merangkul komunisme sebagai bagian dari konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Ia percaya menggabungkan ketiganya akan menciptakan keseimbangan dan kekuatan.
Sjahrir, sebaliknya, berhati-hati. Ia menolak komunisme yang otoriter dan totaliter, mendukung sosialisme yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia. Bagi Sjahrir, PKI adalah ancaman terhadap demokrasi yang baru lahir.
Ketegangan ini memuncak pada awal 1960-an. Sjahrir semakin kritis terhadap kebijakan Soekarno, terutama kedekatan Soekarno dengan PKI.
Soekarno, yang merasa terancam, melihat Sjahrir sebagai penghalang. Pada tahun 1962, Sjahrir ditangkap atas tuduhan konspirasi. Ia dipenjara tanpa proses peradilan.
Kisah persahabatan dan perpecahan antara Bung Karno dan Bung Sjahrir adalah kisah tentang visi, pilihan, dan prinsip.
Dari sahabat menjadi lawan politik, mereka menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan bukan hanya melawan penjajah, tetapi juga tentang bagaimana membangun masa depan yang adil dan sejahtera bagi bangsa.
Di tengah perbedaan yang tajam, mereka tetap menjadi bagian dari sejarah yang mengukir jalan menuju Indonesia merdeka.
Bung Karno melihat nasionalisme sebagai kekuatan pendorong utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia percaya bahwa rasa cinta tanah air dan kebanggaan terhadap identitas nasional adalah fondasi yang kuat untuk menggerakkan rakyat melawan penjajahan.
Dalam pandangannya, nasionalisme bukan hanya tentang kebebasan dari penjajah, tetapi juga tentang membangun identitas kolektif yang kuat di antara berbagai etnis, agama, dan budaya di Indonesia.
Pada tahun 1945, Soekarno memperkenalkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Ini merupakan manifestasi dari visi nasionalisme Soekarno.
Pancasila dirancang untuk mengakomodasi keragaman Indonesia dan menjadi panduan bagi pembangunan bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Konsep Marhaenisme juga menjadi bagian integral dari nasionalisme Soekarno. Marhaenisme adalah ideologi yang berfokus pada pembebasan rakyat kecil (Marhaen) dari penindasan ekonomi dan sosial.
Soekarno bertemu dengan seorang petani bernama Marhaen yang memiliki alat produksi sendiri namun tetap hidup dalam kemiskinan. Dari sini, Soekarno menyimpulkan bahwa sistem ekonomi yang eksploitatif harus diubah untuk menciptakan keadilan sosial.
Soekarno mencoba menggabungkan tiga kekuatan besar di Indonesia Nasionalisme, Agama, dan Komunism dalam satu konsep yang disebut Nasakom.
Ia percaya bahwa, dengan mengintegrasikan ketiga elemen ini, Indonesia dapat mencapai keseimbangan politik dan sosial.
Nasionalisme Soekarno adalah tentang persatuan dan kebersamaan dalam keragaman, serta penggabungan kekuatan-kekuatan yang berbeda untuk mencapai tujuan nasional.
Sutan Sjahrir melihat Indonesia dari kacamata yang berbeda. Sebagai seorang sosialis demokrat, ia melihat sosialisme sebagai jalan untuk mencapai keadilan sosial dan pemerataan ekonomi di Indonesia.
Sosialisme yang diperjuangkannya berakar pada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Sjahrir percaya bahwa hanya melalui sistem yang demokratis dan inklusif, rakyat Indonesia dapat mencapai kemakmuran dan kebebasan sejati.
Sjahrir sangat mendukung demokrasi parlementer, di mana kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen yang dipilih secara bebas oleh rakyat.
Dia percaya bahwa, demokrasi parlementer adalah cara terbaik untuk menjamin partisipasi politik yang luas dan menjaga kebebasan sipil. Menurut Sjahrir, demokrasi adalah sarana untuk mencapai tujuan sosialisme, bukan sebaliknya.
Sosialisme Sjahrir adalah sosialisme yang humanis, yang menempatkan manusia dan hak-hak mereka di pusat perhatian. Ia menolak komunisme yang otoriter dan totaliter, yang menurutnya bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan.
Sosialisme humanis Sjahrir menekankan pada pentingnya pendidikan, kebebasan berpikir, dan pembangunan ekonomi yang merata.
Sjahrir sangat berhati-hati terhadap pengaruh komunisme di Indonesia. Ia mengkritik kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan melihatnya sebagai ancaman terhadap demokrasi. Sjahrir percaya sosialisme harus dicapai melalui cara-cara yang damai dan demokratis, bukan melalui revolusi kekerasan atau dominasi satu partai.
Bung Karno dan Bung Sjahrir yang akhirnya berbeda dan berhadapan frontal secara politik bersatu kembali dalam puisi esai Isti Nugroho.
Isti sebagai aktivis melakukan sejenis sinkretisme. Dari Bung Karno, ia ambil komitmen pada kaum marhaen, wong cilik yang perlu memperoleh kemandirian ekonomi.
Dari Bung Sjahrir, Isti mengambil komitmen kepada demokrasi, hak asasi, dan pengaturan negara dengan manajemen modern.
Dalam puisi, Isti menggambarkan dirinya mandi dan bermain di dua sungai. Yang satu sungai yang dijaga Pak Marhaen (Bung Karno). Satu lagi sungai yang dijaga Pak Sosialis (Bung Sjahrir).
Puisi esai berjudul “Berkisar di antara Soekarno dan Sjahrir” hanyalah satu dari 48 puisi esai lain.
Sebagaimana yang menjadi standar puisi esai, 48 puisi esai yang ia tulis adalah kisah faktual yang diperkaya dengan fiksi. Puisi itu diekspresikan dengan bahasa mudah tapi puitis.
Dalam keseluruhan 48 puisi esai itu, masing-masing hadir pula catatan kaki sebagai wakil dari true story yang menjadi ibu kandung puisi.
Untuk gerakan puisi esai selaku genre baru sastra Indonesia, Isti Nugroho termasuk generasi pertama. Genre puisi esai ini lahir di tahun 2012 dibawa buku saya berjudul Atas Nama Cinta.
Di tahun 2013, setahun kemudian, Isti Nugroho beserta Indra Trenggono sudah mengubah satu puisi esai di buku itu, Sapu Tangan Fang Yin, menjadi teater. Di Yogyakarta, drama itu dipentaskan.
Tahun 2024, Isti Nugroho diundang ke Malaysia, untuk menceritakan pengalamannya melakukan teaterisasi puisi esai. Pihak pengundang adalah panitia Festival Puisi Esai ASEAN ke-3.
Tiga belas tahun sejak Isti Nugroho membuat teaterisasi puisi esai, juga setelah ia presentasi puisi esai di luar negeri, ia memutuskan menuliskan perjalanan intelektual dan sikap politiknya dalam 48 puisi esai.
Tulis Isti Nugroho di buku itu: “Puisi esai bagi saya adalah karya seni yang menyatakan sikap atas keadaan. Bukan klangenan atau hiburan, layaknya tingkah konyol para badut di panggung politik.”
“Penyair bukan penghibur tapi sosok yang memberikan pencerahan bagi banyak orang. Dan saya sangat mempercayai bahkan meyakini hal itu.”
Lanjut Isti, “Untuk itu, antologi puisi esai, saya persembahkan kepada khalayak penjaga, pembela, dan penguat demokrasi.”
Komunitas puisi esai setiap tahun kini memiliki dua festival. Festival Puisi Esai tingkat ASEAN sekitar bulan Juni, dan Festival Puisi Esai Nasional di bulan Desember.
Puisi esai di buku Isti Nugroho ini segera ia siapkan untuk ditampilkan sebagai teater durasi mini.
Sebagai aktivis politik yang kawakan, wajar saja elemen dan aura politiknya akan mewarnai karya seninya. Tapi justru di situ letak nilai lebih. Ekspresi politik ia sampaikan melalui puisi esai dan teater puisi esai.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.