Telusur.co.id - Oleh : Prof. Dr. Warsono, M.S.
Pemilu untuk memilih presiden, anggota DPR dan DPD telah berlangsung, namun perhatian masyarakat lebih tertuju kepada siapa yang akan menjadi presiden dari pada siapa yang akan menjadi wakil mereka di DPR. Hal ini bisa dimaklumi, karena presiden merupakan jabatan tertinggi dengan kewenangan yang sangat besar dan akan menentukan arah bangsa lima tahun ke depan.
Kita sering menyaksikan ada orang yang begitu memperoleh suatu jabatan lalu bersujud syukur dan bersuka ria, tetapi ada juga yang ketika diberi jabatan dengn sedih mengucapkan innalilahi wa innailaihi rojiun.
Sikap dua orang yang berbeda tersebut karena didasarkan pada paradigma yang berbeda, yang satu politik (kekuasaan) dan yang satunya relegius (amanah). Keduanya membawa konsekwensi yang berbeda.
Bagi mereka yang memandang jabatan sebagai suatu kekuasaan biasanya akan bersujud dan bersuka ria, karena mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan. Sedangkan mereka yang memandang jabatan sebagai amanah biasanya akan mengucapkan innalilahi wa innailaihi rojiun.
Mereka yang memandang jabatan sebagai kekuasaan akan berusaha memperoleh dengan berbagai cara, termasuk menggunakan money politik. Bahkan ada juga yang menjualbelikan jabatan yang ada di bawah kewenangannya.
Sejarah telah mencatat, banyak kepala daerah yang tertangkap KPK karena diduga terlibat dalam kasus jual beli jabatan. Namun, yang menarik adalah banyak juga yang mau “membeli” jabatan tersebut, karena ingin memiliki kewenangan yang bisa digunakan untuk memperkaya diri alias korupsi.
Selain dijual, jabatan juga bisa dibagi-bagi kepada sanak saudara, sehingga muncul istilah korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). Pembagian jabatan kepada sanak saudara bisa menimbulkan dinasti politik yang sangat rawan terhadap tindak korupsi. Korupsi yang terjadi di berbagai daerah salah satunya juga disebabkan dinasti politik, karena terjadi akumulasi kekuasaan.
Jika Lord Acton menyebutkan bahwa, power tend to corrup, maka pengumpulan kekuasaan kepada banyak orang dalam suatu keluarga juga memiliki potensi terjadinya korupsi. Hal ini juga telah terbukti di berbagai daerah, sehingga ada upaya untuk menghindari terjadinya dinasti politik.
KKN juga berdampak kepada kinerja pejabat kurang baik, karena tidak didasarkan kepada kompetensi, tetapi lebih didasarkan kepada siapa yang memliki uang atau loyalitas. Kompetensi menjadi pertimbangan yang ke sekian dalam memilih seorang pejabat, yang penting ada uang atau memiliki loyalitas yang tinggi kepada pejabat. Dengan loyalitas tersebut mereka akan saling melindungi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Jabatan sebenarnya merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, dalam setiap pengangkatan seorang menjadi pejabat ada pelantikan. Salah satu hal yang ada dalam pelantikan adalah sumpah jabatan.
Para pajabat yang dilantik harus mengucapkan sumpah di bawah kitab suci. Salah satu substansi sumpah adalah memberi tahu bahwa, ada tanggungjawab terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Di samping itu juga mengingatkan bahwa, Tuhan menyaksikan dan tahu apa yang nampak dan yang ada di dalam hati pejabat.
Sumpah dalam pelantikan seharusnya menjadi pengendali diri dari setiap pejabat yang baru diangkat. Sehingga dalam menduduki jabatan tidak hanya berarientasi kepada kekuasaan semata, tetapi mengemban amanah untuk kepentingan bangsa dan negara dan tanggungjawab terhadap Tuhan. Oleh karena itu, sumpah merupakan salah satu prasyarat atas kewenangan yang dimiliki oleh pejabat.
Mereka yang memandang jabatan sebagai amanah tidak akan membagi jabatan kepada sembarang orang yang tidak kompeten, termasuk kepada sanak saudaranya. Mereka akan memberikan jabatan kepada orang-orang yang memiliki kompetensi. Di sinilah berlaku pameo, jika suatu pekerjaan tidak diberikan kepada ahlinya, maka tinggal menunggu kehancuran.
Apakah dua paradigma tersebut bisa disatukan dalam arti jabatan dipandang sebagai kekuasaan dan sekaligus amanah? Jawabannya bisa ya bisa tidak, sangat terhgantung kepada orangnya. Bagi mereka yang memandang jabatan adalah amanah akan menggunakan kekuasaannya dengan dilandasi oleh pertanggunganjawaban kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka tidak akan menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan diri sendiri, kelompok atau golongannya.
Tetapi bagi mereka yang memandang jabatan sebagai kekuasaan, akan cenderung mengabaikan sumpah jabatan. Sehingga tanggungjawab moral terhadap Tuhan menjadi kabur. Memang tidak mudah untuk menyatukan dua paradigma tersebut. Jabatan tidak hanya membutuhkan kompetensi, tetapi juga membutuhkan moralitas.
Mencari orang-orang yang amanah memang tidak mudah, apalagi orang yang memiliki kompetensi dan amanah tentu lebih sulit. Jabatan yang tidak disertai dengan moralitas akan cenderung mengarah kepada penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, kekuasaan harus dikontrol oleh moralitas, agar tidak disalahgunakan apalagi dijualbelikan.
Munculnya berbagai penyalahgunaan kekuasaan dan tindak korupsi karena jabatan tidak dipandang sebagai amanah, tetapi lebih dimaknai sebagai kekuasaan. Sumpah yang diucapkan pada saat pelantikan tidak lagi menjadi kekuatan moral yang selalu membimbing dan menerangi setiap langkah yang diambil, tetapi hanya dipandang sebagai ritual belaka.
Orientasi materi dan keduniawian lebih mengedepan dari pada orientasi akhirat dan kepentingan bangsa dan negara. Jika jabatan hanya dipandang sebagai kekuasaan, maka sulit berharap akan adanya keadilan.
*Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur periode 2022-2026, Ketua II Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (PP ISPI) periode 2014-2019, dan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) periode 2014-2018, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa, dan Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Cabang Jawa Timur.