Jika Presiden Jokowi Kampanye Untuk Capres (Misalnya Prabowo): Bolehkah? - Telusur

Jika Presiden Jokowi Kampanye Untuk Capres (Misalnya Prabowo): Bolehkah?


Telusur.co.idOleh : Denny JA

Apa jadinya jika Presiden Jokowi ketika ia masih menjabat sebagai presiden secara resmi menyatakan dukungannya kepada Prabowo dan Gibran? Lebih jauh lagi, Jokowi pun berkampanye untuk Prabowo dan Gibran?

Ini pertanyaan yang lahir begitu saja setelah membaca berita dan kontroversinya. Berita ini dimulai oleh Jokowi sendiri ketika ia mengatakan bahwa presiden boleh kampanye asal tak gunakan fasilitas negara.

Segera peryataan Jokowi ini melahirkan pro dan kontra. Saya kutip salah satunya dari TPN Ganjar-Mahfud. Kubu Ganjar menyatakan tak persoalkan jika Presiden Jokowi ikut kampanye.

Namun sebaliknya, dari Civil Society PERLUDEM. Kelompok ini meminta Jokowi cabut pernyataannya agar presiden tak berpihak dan tak kampanye.

Sebenarnya, bagaimanakah kita harus bersikap?  Bolehkah presiden ketika masih berkuasa menyatakan dukungannya kepada capres selanjutnya? Bolehkah presiden bahkan berkampanye untuk capres selanjutnya?

Maka tiga hal sekaligus yang bisa kita jadikan variabel untuk analisis. Pertama adalah studi perbandingan di negara demokrasi yang sudah matang. Apakah di sana in action presidennya boleh berkampanye mendukung calon presiden yang akan datang.

Kedua, kita lihat juga pada aturan konstitusi  UUD 45 di Indonesia dan Undang-Undang yang ada. Apakah soal presiden berkampanye itu juga diatur, dibolehkan atau dilarang atau ada pembatasannya.

Dan ketiga yang lebih universal adalah prinsip demokrasi. Bagaimana prinsip demokrasi mengatur hal ini?

Kita mulai dari contoh di negara maju. Ini data yang bisa kita lacak di Google. Di tahun 2016 Obama masih menjadi presiden. Ia masih berkuasa.

Tapi saat itu Obama berkampanye untuk Hillary Clinton, dengan begitu intensif. Kampanyenya  begitu masif. Media setempat bahkan menyebutnya fenomenal. Historis!

Hillary yang dulu menjadi kompetitornya, ia kalahkan, lalu Obama menjadikan Hillary sebagai Menlu.

Di tahun 2016, Hillary maju sebagai capres dan Obama sebagai presiden mendukungnya, mengendorse-nya secara terbuka. Obama juga aktif berkampanye.

Tak hanya kasus Presiden Obama di tahun 2016. Ia terjadi pula ini di tahun 2008. Saat itu George Bush masih menjadi presiden. Ia pun secara terbuka mendukung John McCain untuk maju sebagai calon presiden berikutnya.

George Bush pun berkampanye untuk John McCain ketika Bush masih menjadi presiden. Kita lihat di sini betapa di Amerika Serikat, presiden yang masih berkuasa berkampanye untuk calon presiden lain sudah diterima sebagai hal yang lazim saja.

Mengapa? Karena hal yang boleh-boleh saja jika presiden memiliki kepentingan agar legasinya, programnya, dilanjutkan oleh calon presiden yang ia merasa memiliki kesamaan visi, dan kemampuan.

Kedua, kita bisa melihat pada aturan konstitusi di Indonesia. Konstitusi kita membolehkan presiden untuk maju kedua kalinya untuk kembali menjadi presiden.

Ini berarti tokoh yang sudah menjadi presiden pada periode pertama, ia boleh berkampanye ketika masih menjadi presiden (untuk dirinya sendiri) agar terpilih kembali sebagai presiden  untuk periode kedua.

Megawati berkampanye ketika ia masih menjadi presiden di tahun 2004 bagi capres berikutnya (dirinya sendiri). Hal yang sama terjadi pada SBY di tahun 2009. Hal serupa juga berulang pada Jokowi tahun 2019.

Ketiga tiganya masih menjadi presiden, dan tiga-tiganya berkampanye untuk capres berikutnya (dirinya sendiri). Jika ia boleh kampanye untuk capres berikutnya (dirinya sendiri), walau masih menjadi presiden, bolehkah ia juga berkampanye untuk capres berikutnya, yang bukan dirinya sendiri?

Hadir Undang-Undang Pemilu No 7 Tahun 2017.  Dalam UU itu dinyatakan secara jelas dan tegas.  Presiden dan wakil presiden boleh berkampanye dengan catatan. Presiden tidak menggunakan fasilitas negara kecuali pengamanan yang melekat padanya. Presiden juga dalam kondisi cuti.

Pakar Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra juga menyatakan. Memang presiden dan wapres dibolehkan undang-undang untuk kampanye.

Ketiga kita pun bisa melihat dari prinsip demokrasi. Setiap warga negara dibolehkan menyatakan sikap politiknya, pilihan politiknya, kecuali yang oleh kondisi khusus dilarang oleh hukum setempat. 

Bagaimanapun, presiden tidak hanya pemimpin pemerintahan. Ia juga seorang pemimpin politik.  Sebagai pemimpin politik, Presiden boleh menyatakan sikap politiknya, pilihan politiknya,  termasuk juga siapa capres yang didukungnya pada periode selanjutnya.

Kebolehan ini tak dilarang oleh hukum di Indonesia, tapi hanya dibatasi oleh syarat tak menggunakan fasilitas negara, kecuali pengamanan yang melekat, dan dalam kondisi presiden sedang cuti.

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.


Tinggalkan Komentar