telusur.co.id - Hartarti, korban pemalsuan surat dalam proses jual beli Bali Rich Villa Ubud (PT Bali Rich Mandiri), mengirim surat ke Ketua Mahkamah Agung (MA) memohon perlindungan hukum dan meminta penggantian hakim yang netral dan tidak berpihak untuk mengadili kasus pemalsuan surat tersebut.
Dalam suratnya, Hartarti menjelaskan bahwa ia merupakan penjual yang tidak dibayar lunas dan mengalami kerugian besar. Karena, narapidana Asral baru melakukan pembayaran down payment (DP) sebesar Rp 1 miliar pada 9 Juli 2015 dari harga jual beli Rp 38 miliar.
"Saya menerima Rp 500 juta dan Djarius menerima Rp 500 juta. Djarius adalah pemegang sekaligus pemilik saham 10 persen juga sudah memberi keterangan di Persidangan bahwa belum menerima pelunasan yang seharusnya Rp 38 miliar," ujar Hartati dalam salinan surat yang diterima wartawan, Senin (28/6/21).
Menurut Hartati, hingga saat ini tidak pernah ada pembayaran sampai dengan pelunasan. Hal itu juga terungkap dalam fakta persidangan di PN Gianyar. Di mana kata Hartati, semua terdakwa yang saat ini sudah menjadi narapidana mengakui dan membenarkan bahwa belum ada pelunasan.
Selain itu, Hartati membeberkan kalau para narapidana juga mengakui dan membenarkan RUPS PT Bali Rich Mandiri pada 21 Desember 2015 tidak pernah ada.
"Sampai dengan saat ini tidak pernah ada pembayaran sampai dengan pelunasan. Semuanya sudah jelas terang benderang dan sudah terbongkar di fakta persidangan PN Gianyar dimana semua narapidana mengakui dan membenarkan bahwa belum ada pelunasan, juga mengakui dan membenarkan RUPS PT Bali Rich Mandiri 21 Desember 2015 tidak pernah ada alias palsu," ujarnya.
Dalam suratnya kepada Ketua MA, Hartarti juga menyambung surat permohonan perlindungan hukum terbuka yang dikirimnya pada 4 Juni 2021 dan 21 Juni 2021.
"Saya sebagai korban yang tentu dalam keadaan kesulitan menyayangkan atas kegundahan gulana yang saya alami kini menjadi kenyataan. Yakni, soal narapidana yang akan dibebaskan pada Juni 2021," tulisnya.
Hal tersebut, tambah Hartarti, diketahui dengan adanya tiga putusan permohonan kembali (PK) pada 24 Juni 2021. Yaitu perkara nomor 24 PK/Pid/2021 atas nama Asral Bin H Muhamad Sholeh, perkara nomor 25 PK/Pid/2021 atas nama I Hendro Nugroho Prawiro Hartono, dan perkara nomor 26 PK/Pid/2021 atas nama Suryady alias Suryady Azis.
"Saya hanya seorang rakyat jelata apapun putusan hakim punya kuasa terhadap 3 putusan PK yang dikabulkan," ucap dia.
Sementara itu, berkas perkara PK atas nama narapidana Tri Endang Astuti binti Solex Sutrisno dan narapidana Hartono kata Hartarti, hingga saat ini belum terdaftar register nomor perkara PK.
Terkait PK dua narapidana itu, Hartarti meminta ke Ketua MA agar menunjuk hakim yang netral dan tidak berpihak untuk mengadili perkara tersebut.
"Tidak mengurangi rasa hormat, saya sangat memohon dan berharap Hakim pemeriksa perkara PK atas nama narapidana Tri Endang Astuti binti Solex Sutrisno dan narapidana Hartono dapat digantikan. Sehingga perkara ini ditangguhkan dulu sampai dengan adanya penggantian Hakim yang netral dan tidak berpihak," pintanya.
Hartarti pun berharap kepada Ketua MA untuk berkenan mendengar penderitaannya selaku korban yang mengalami kerugian besar sebagai penjual, akan tetapi tidak pernah menerima pelunasan, sementara pembeli yang sudah mengakui belum melunasi justru dibebaskan.
"Besar harapan saya kepada Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Agung RI sebagai puncak peradilan negara tertinggi di Indonesia. Tempat mencari dan mendapatkan Keadilan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, berkenan mendengar penderitaan saya selaku korban yang sudah nyata mengalami kerugian besar, sebagai penjual yang pastinya saya mengharapkan menerima uang tetapi saya tidak pernah menerima pelunasan. Sedangkan Pembeli yang sudah mengakui belum melunasi dibebaskan," terangnya.
Lebih jauh, Hartati mempertanyakan
tiga putusan PK pada 24 Juni 2021 yang menggunakan novum, yaitu dokumen uji otentifikasi tanda tangan yang dibuat atas pesanan narapidana notaris Hartono.
"Bagaimana uji otentifikasi tanda tangan (swasta) bisa mematahkan hasil pemeriksaan laboratorius kriminalistik Bareskrim Polri?. Saya yang minim pengetahuan tentang hukum, saya penjual yang belum menerima pelunasan sudah pasti saya tidak pernah tanda tangan jual beli saham dan RUPS," ungkapnya.
"Tentu ini pertanyaan besar bagi saya, apa dasar hukum dokumen uji otentifikasi tanda tangan yang menyatakan seolah- olah tandatangan saya identik sehingga hasil pemeriksaan pusat laboratoris kriminalistik Bareskrim Polri yang menyatakan tanda tangan saya non identik tidak berlaku, cacat hukum dan tidak diakui Hakim di Pengadilan," jelas Hartati.
Atas putusan itu, kata Hartati, dirinya merasa sangat-sangat dirugikan. Sehingga, Hartati kembali berharap dan memohon perlindungan hukum dan penggantian hakim yang netral dan tidak berpihak dapat dikabulkan oleh Ketua MA.
"Mohon maaf kalau tanpa saya sengaja ada kata-kata saya yang kurang berkenan. Sebagai warga negara Indonesia saya sangat berhati-hati tidak berani berbuat yang melanggar hukum. Saya sangat menghormati dan patuh kepada hukum. Tetapi saya yang sudah nyata mengalami kerugian besar sebagai korban kejahatan dan kezaliman, saya akan tetap terus berjuang untuk mendapatkan kembali apa yang memang hak saya atas kepemilikan yang sah dan keadilan yang seadil-adilnya. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya dan tiga anak menghaturkan terima kasih," pungkas Hartati.
Untuk diketahui, surat terbuka ini juga ditembuskan untuk Presiden RI, Wakil Presiden RI, Ketua DPR RI, Ketua Komisi III DPR RI, Ketua Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Hukum dan HAM, Ketua Komisi Yudisial (KY), Ketua Ombudsman, Ketua Pengadilan Tinggi Bali dan Ketua Pengadilan Negeri Gianyar. [Tp]
Kasus Jual Beli Villa, Korban Minta Ketua MA Ganti Hakim yang Netral untuk PK 2 Narapidana
Gedung Mahkamah Agung (MA). (Ist)