telusur.co.id - Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang melibatkan oknum wartawan baru-baru ini mengguncang dunia jurnalistik di Bangka. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Bangka, Zuesty Novianti dengan tegas menyatakan bahwa, kejadian tersebut bukanlah cerminan dari etika jurnalistik yang sesungguhnya. Menurutnya, fungsi utama wartawan adalah sebagai pengontrol sosial, bukan sebagai pemeras atau pengancam.
Dalam pernyataannya, Estie, sapaan akrabnya, mengungkapkan, kekhawatirannya terkait dampak negatif dari kasus OTT yang menyangkut seorang wartawan yang diduga melakukan pemerasan terhadap kontraktor proyek di Pasir Padi.
Kasus ini menambah catatan hitam bagi profesi wartawan yang sudah sering mendapatkan pandangan negatif dari masyarakat.
Menurut Estie, peran wartawan seharusnya adalah mengawasi dan memastikan program-program pemerintah atau proyek-proyek pembangunan berjalan sesuai dengan aturan dan tepat sasaran.
"Fungsi wartawan adalah pengontrol. Kami tidak seharusnya menakut-nakuti atau meminta uang sebagai imbalan untuk tidak memberitakan sesuatu. Apabila ada masalah, itu adalah ranah hukum untuk menindaklanjuti," lugas Estie. Selasa, (17/9/2024).
Kasus OTT yang melibatkan oknum wartawan, yang ternyata juga merupakan mantan polisi terlibat kasus narkoba, semakin menambah keruhnya citra dunia jurnalistik.
Menurut informasi yang beredar, oknum tersebut meminta uang dari kontraktor dengan iming-iming tidak membuat berita yang bisa merugikan proyek tersebut.
Tindakan ini jelas melanggar kode etik jurnalistik dan merusak integritas profesi wartawan.
Estie mengecam upaya beberapa pihak yang berencana menggelar aksi damai sebagai bentuk dukungan terhadap oknum wartawan tersebut.
Menurutnya, dukungan semacam itu malah memberikan sinyal yang salah kepada masyarakat dan tidak seharusnya terjadi.
“Ini lucu dan aneh. Kenapa kita harus mendukung oknum yang melanggar kode etik? Bukankah lebih baik mendukung upaya Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengungkap kasus ini secara transparan?” jelasnya.
Dia menegaskan bahwa, banyak oknum yang mengaku sebagai wartawan hanya untuk memanfaatkan profesi ini demi keuntungan pribadi.
“Banyak kontraktor, pengusaha, dan politikus yang sekarang menjadi target oknum-oknum yang mengaku sebagai wartawan. Ini merusak nama baik profesi kami,” ungkap Estie.
Lebih lanjut, Estie menyoroti bahwa, investigasi jurnalistik seharusnya dilakukan untuk memberikan informasi yang mendalam dan objektif kepada publik.
Namun, tindakan pemerasan dan ancaman justru menambah beban negatif bagi profesi ini.
"Kami harus menegakkan kode etik dan melaporkan praktek-praktek kotor ini. APH harus turun tangan dan mengusut tuntas kasus ini," tambahnya.
Estie juga mengajak masyarakat untuk aktif melaporkan setiap pelanggaran kode etik oleh oknum wartawan.
"Jangan takut untuk bersuara dan melaporkan tindakan yang merugikan banyak orang. Kami akan mendukung setiap upaya untuk membersihkan dunia jurnalistik dari oknum yang tidak bertanggung jawab," tukasnya.
Dengan adanya kasus ini, diharapkan bisa menjadi momentum bagi para wartawan dan masyarakat untuk kembali menegakkan kode etik jurnalistik dan menjaga integritas profesi.
Dunia jurnalistik harus mampu membersihkan diri dari oknum-oknum yang merusak citra dan kepercayaannya. (ari)