telusur.co.id - Kasus viral seorang sopir Mikrotrans (Jak Lingko) yang bertindak ugal-ugalan dan menurunkan penumpang di tengah jalan di kawasan Jakarta Timur menuai respons keras dari Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Tory Damantoro.
Menurut Damantoro, kasus seperti itu telah lama melanda sektor angkutan umum di ibu kota.
"Yang pertama saya turut prihatin ya untuk teman pengguna yang diturunkan, MTI sudah melihat sejak Oktober tahun lalu dan sudah beberapa tahun itu kita selalu sampaikan bahwa angkutan umum kita itu berasa berada dalam kondisi darurat," ujar Damantoro, Senin (19/5/2025).
Damantoro menjelaskan bahwa model pembayaran sopir Jak Lingko per kilometer, berbeda dengan angkutan kota konvensional, seharusnya menjamin fokus pada pelayanan.
Damantoro lantas mempertanyakan efektivitas standar pelayanan yang ada, termasuk pihak yang bertanggung jawab dalam penyusunan, pelaksanaan, dan penegakannya.
"Bayangkan saja bahwa perusahaan yang menaungi sopir ini itu dibayar per kilometer. Karena itu kan sifatnya by the service, artinya kan si dia itu hanya punya tugas untuk mengoperasikan kendaraan sesuai dengan standar pelayanan yang sudah ditetapkan dalam kontrak kerjanya. Oke, nah sekarang pertanyaannya, kemana standar pelayanan itu? Siapa yang bikin, siapa yang menjalankan, siapa yang menegakkan?" tanya Damantoro.
MTI juga menyoroti peran dan tanggung jawab PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) sebagai pihak yang mendapat mandat dari pemerintah untuk mengelola layanan tersebut.
Damantoro mendesak agar Transjakarta bertanggung jawab dan mengevaluasi kembali Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang berlaku, terutama setelah munculnya keluhan dari masyarakat.
"Kalau memang berarti Pemprov harus menanyakan kepada yang mendapatkan penugasan, yaitu Transjakarta, Transjakarta harusnya bertanggung jawab atas hal ini, lihat lagi SPM nya, bagaimana standar pelayanan minimumnya. Dan kemudian standar pelayanan minimum itu kan nggak bisa mandet kemudian jadi tidak bisa dirubah gitu kan, kalau ada kejadian-kejadian ini berarti harus ditambah," tegasnya.
Lebih jauh, Damantoro menyoroti potensi ketidaksesuaian standar kecepatan yang diterapkan. Merujuk pada peraturan Kementerian Perhubungan nomor 111 tahun 2015 tentang batas kecepatan dalam berkendara, kecepatan rata-rata di perkotaan seharusnya 30 km/jam, bukan 50 km/jam seperti yang sempat menjadi perdebatan dalam video viral lainnya. Kecepatan tinggi di jalan perkotaan dinilai meningkatkan risiko fatalitas kecelakaan.
"Kecapetan berkendara di kota seharus nya itu 30km/jam, bukan 50km/jam, karna jika 30km/jam menurut saya dapat menurutkan resiko tabrakan yang sangat kencang," ujar Damantoro.
Selain masalah SPM, MTI juga mempertanyakan keseriusan Transjakarta dalam mengelola Jak Lingko. Damantoro bahkan menyarankan agar pengelolaan diserahkan kepada pihak lain jika Transjakarta dinilai tidak mampu.
"Ini Transjakarta itu serius apa nggak sih ngurusin Jeklingko? Jadi sabar nggak ini, kalau nggak ya sudah nggak usah dipegang trans Jakarta, kasih saja yang lain untuk ngurusin. Ganti itu, bikin BUMD tandingan aja kalau begitu," usulnya.
MTI menyoroti kasus ini sebagai puncak dari permasalahan yang lebih dalam, termasuk potensi kesalahan dalam perencanaan rute dan sistem target kinerja sopir.
Perubahan sistem setoran dari target uang harian menjadi target kilometer juga disinyalir dapat memicu perilaku ugal-ugalan jika tidak diiringi dengan perencanaan yang matang.
"Jangan-jangan tabiat-tabiat seeprti itu dibiarkan, perilaku ugal-ugalan itu timbul karena perencanaan yang salah," ujar Damantoro.[Nug]
Laporan: Alfarisi