telusur.co.id - Empat dasawarsa Profesi Penilai Indonesia, KPSPI MAPPI menghadirkan Diskusi Keilmuan bersama Para Guru Besar dengan topik “Profesi Penilai dan Perannya dalam Pengelolaan Kekayaan Negara”. Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) menggelar Diskusi Keilmuan dengan mengundang lima Guru Besar guna mendengar pendapat dari para akademisi atas peran penting Penilai terkait dibutuhkannya payung hukum berupa Undang-Undang (UU) untuk Profesi Penilai.
Seperti diketahui, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penilai mendapat dukungan dan apresiasi dari sejumlah pihak, termasuk yang teranyar dari Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo.
Acara digelar secara hybrid dengan memanfaatkan Zoom sekaligus streaming YouTube dengan mengambil tempat sebagai pusat kegiatan di Ballroom Mercure Hotels Jakarta Simatupang. Antusiasme diskusi juga tercermin dari banyaknya peserta yang mencapai 1.051 orang, dengan pertanyaan yang berkualitas, serta tanggapan positif dan opsi solutif dari narasumber, para Guru Besar.
Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional MAPPI, Muhammad A. Muttaqin mengungkapkan perlunya pengembangan bagi profesi Penilai Indonesia untuk meningkatkan peran Penilai dalam pembangunan Nasional yang berkelanjutan dan berkesinambungan.
Betapa besarnya kekayaan Negara Indonesia dan Pemerintah bertanggung jawab dalam pengelolaan harta kekayaan Negara. Kekayaan Negara, termasuk Barang Milik Negara (BMN), dan kekayaan alam Indonesia harus sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Peran Penilai dengan keilmuan dan keahlian yang dimiliki, cukup besar dalam penetapan penyusunan Laporan Keuangan Negara yang accountable dan transparan, identifikasi serta pengembangan potensi kekayaan termasuk optimalisasi aset. Komite Penyusun Standar Penilai Indonesia (KPSPI) diharapkan dapat melanjutkan Diskusi Keilmuan ini dengan rangkaian kegiatan lainnya yang dapat mendorong mewujudkan adanya UU Penilai.
Ketua KPSPI MAPPI Hamid Yusuf mengatakan, pihaknya terus berjuang agar RUU Penilai dapat segera disahkan menjadi UU. Kegiatan diskusi ini juga merupakan salah satu upaya dari proses pematangan RUU Penilai.
Pasca reformasi, profesi Penilai mulai banyak diperlukan di sejumlah sektor ekonomi vital, seperti pasar modal, perbankan bahkan pertanahan. Namun dari sekian banyak sektor penting yang memerlukan penilai, belum ada payung hukum yang melindungi profesi Penilai.
"Misalnya dalam Undang-undang Cipta Kerja yang menyebut hasil penilaian yang dilakukan Penilai bersifat final dan mengikat. Bagaimana kita bisa memberi opini yang bersifat final dan mengikat, saat kita tak punya payung hukum," ujar Hamid dalam keterangan tertulisnya, Minggu (12/12/21).
Padahal, sambung Hamid, hasil penilaian yang dinilai oleh para penilai mencapai lebih dari Rp 10 ribu triliun. Tanpa adanya Undang-Undang, maka potensi penyimpangan yang terjadi sangat besar.
"Kalau itu ada penyimpangan sekian persen saja dari jumlah itu, gede banget itu. Jadi profesi yang melakukan pekerjaan itu kan harus ada backup berupa UU," ujarnya.
Sementara itu, Ketua 1 Dewan Pengurus Nasional (DPN) MAPPI, Guntur Pramudiyanto menjelaskan, saat ini yang mengatur profesi Penilai baru hanya setingkat Peraturan Menteri Keuangan (PMK), padahal banyak kementerian dan lembaga yang membutuhkan jasa penilai. Sehingga banyak kementerian dan lembaga yang mengatur posisi penilai berdasarkan kebutuhan masing-masing kementerian dan lembaga tersebut.
"Saat satu aturan dengan aturan lain saling tumpang tindih, ketika ada masalah dan diangkat ke ranah pidana, jika ada oknum yang berniat kurang baik terhadap Penilai, maka dia bisa menggunakan aturan lain untuk menjerat. Padahal Penilai itu tak terikat aturan itu," tutur Guntur.
Dengan adanya UU Penilai, sambung Guntur, maka lembaga pemerintah tak perlu mengatur penilai masing-masing (terpisah), karena sudah ada satu pohon yang mengatur profesi Penilai secara keseluruhan.
MAPPI juga telah berkoordinasi dengan Ketua Fraksi sejumlah partai di DPR. Dia berharap, DPR akan menerima audiensi dengan pihaknya dengan harapan RUU Penilai akan masuk dalam Prolegnas.
"Sekarang sudah banyak pembahasan yang kita lakukan, sehingga harapan kita RUU Penilai bisa masuk ke Prolegnas. UU Penilai juga sudah ada di hampir seluruh negara, seperti Singapura, Malaysia, Amerika dan berada dibawah Kementerian Keuangan," jelasnya.
Direktur Eksekutif MAPPI, Julham Satria mengungkapkan, RUU Penilai bersifat sangat mendesak untuk segera dibahas DPR yang nantinya dapat disahkan menjadi UU. Tuntutan tugas Penilai itu sangat besar dan memiliki risiko tinggi.
Penilaian secara singkat adalah proses untuk menentukan manfaat ekonomi (nilai), baik itu atas real properti (aset), personal properti, Hak Kepemilikan Finansial (HKF) maupun bisnis (usaha), dengan berbagai Tujuan Penilaian tentunya.
"Dalam mengemban amanah penugasan yang besar dan penuh risiko, Penilai belum dilindungi dengan payung hukum setingkat UU. Dengan adanya UU itu, justru bukan hanya dimaksudkan untuk melindungi Penilai semata, namun justru dimaksudkan untuk melindungi para pihak, baik bagi seluruh pengguna jasa maupun Pemberi Tugas (seluruh stakeholders). Banyaknya kementerian dan lembaga serta instansi swasta yang menumpahkan beban ke pundak kualifikasi Penilai, juga menjadi salah satu indikasi dibutuhkannya UU Penilai," jelasnya.
Selama ini, lanjut Julham, Penilai juga rentan mendapat intervensi berupa ancaman yang sifatnya mengharuskan menetapkan nilai tertentu dari suatu properti (Objek Penilaian). Hal ini yang menjadikan alasan UU Penilai, mendesak dibutuhkan, sehingga Penilai dapat bekerja secara independen sekaligus terlindungi.
"Untuk mengambil sikap independen, mau tidak mau, suka tidak suka Penilai harus dilindungi. Payung hukum dibutuhkan untuk memastikan proses penilaian dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan, peraturan serta etik dan standar yang berlaku. Objek Penilaian apakah itu individual ataupun massal, Penilai selaku individu profesional maupun MAPPI sebagai asosiasi profesi Penilai, Pemberi Tugas serta pengguna jasa, tidak lepas juga regulator, semuanya perlu ditata dalam tatanan hukum yang adil, jelas hak dan kewajibannya yang sepenuhnya ditujukan dan bermuara demi kemakmuran dan kemaslahatan,” paparnya.
“Pada hakikatnya setiap langkah bisnis dari profesi Penilai merupakan suatu langkah hukum. Untuk itu praktik profesi Penilai harus dilindungi dengan aturan hukum. Karenanya dibutuhkan UU Penilai sebagai jaminan kepastian baik bagi regulator, masyarakat dan profesi Penilai itu sendiri serta produk yang dihasilkan," sambungnya.
Bertindak sebagai Narasumber dalam diskusi ini yakni Guru Besar FEB UGM Yogyakarta, Prof. Dr. Insukindro, M.A.; Guru Besar Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum, Guru Besar Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB, Prof. Ir. Haryo Winarso, M.Eng, Ph.D, dan Guru Besar Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H.
Diskusi ini dimoderati oleh Prof. Dr. Elisabet Siahaan, S.E., M.Ec, Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, Ketua Program Studi Magister Manajemen Properti dan Penilaian, Sekolah Pasca Sarjana USU, Medan. (Ts)