Telusur.co.id -Penulis: Jessica Amanda Ginting, Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Isu lingkungan menjadi problematika yang disorot oleh dunia. Isu ini dapat terjadi akibat adanya pemanasan global yang disebabkan oleh polusi udara. Lebih lanjut, World Health Organization (WHO, 2024) menyatakan bahwa polusi menjadi ancaman terbesar, terkhusus dalam pengaruhnya atas sektor kesehatan. Hingga kini, Indonesia masih menjadi salah satu negara penyumbang polusi terbesar di dunia. Hal ini didukung oleh pertumbuhan kadar emisi yang dikeluarkan setiap tahunnya. Oleh karena itu, Indonesia menyatakan tekad untuk menanggulangi problematika yang ada dengan meratifikasi Paris Agreement yang dinyatakan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (UU 16/2016). Sebagai respon atas ratifikasi tersebut, pemerintah Indonesia, melalui Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) sebagai pembaruan “janji” Indonesia pada pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), menginisiasi adanya pengurangan GRK, yakni menjadi 31,89% dengan usaha mandiri dan 43,2% dengan dukungan internasional. Merujuk pada situasi tersebut, banyak sektor didorong untuk melakukan aktivitas secara “hijau”, tidak terkecuali sektor kepabeanan. World Bank (2023) menyatakan bahwa diperlukan upaya mitigasi serta adaptasi atas perubahan yang terjadi sebab berpengaruh pada arus perdagangan global. Bahkan, pada Climate Change and Development Report (CCDR), World Bank (2023) juga kembali menegaskan bahwa keseimbangan antara tujuan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai dengan reformasi.
Reformasi dapat dilakukan melalui berbagai sektor, salah satunya sektor kepabeanan yang dikenal dengan kepabeanan hijau. Sektor kepabeanan menjadi salah satu sektor yang disorot sebab melalui studi yang ada, rantai pasok internasional memiliki kontribusi yang cukup besar atas total emisi karbon dunia sehingga sektor kepabeanan dinilai akan memberikan pengaruh secara signifikan. Kepabeanan hijau diperkenalkan pada tahun 2004 melalui Green Customs Initiative (GCI) sebagai inisiasi United Nations Environment Programme (UNEP). Adapun GCI merupakan bentuk kerja sama untuk mencegah perdagangan ilegal komoditas dan zat-zat yang sensitif terhadap lingkungan dan untuk memfasilitasi perdagangan legal. GCI ditujukan untuk meningkatkan kapasitas bea cukai dalam memantau dan memfasilitasi perdagangan legal serta mencegah perdagangan ilegal komoditas yang sensitif terhadap lingkungan yang terdapat di dalam konvensi dan Multilateral Environmental Agreements (MEAs). Adapun MEAs merupakan perjanjian internasional dalam rangka menanggulangi tantangan lingkungan global, seperti perubahan iklim, polusi, limbah, hingga kelangkaan keanekaragaman hayati. Sebagai salah satu bentuk tanggapan atas GCI, US Customs and Border Protection sebagai otoritas bea cukai Amerika Serikat mengimplementasikan Green Trade Strategy yang dimulai pada Juni 2022 silam dengan mendorong perdagangan hijau, mempercepat inovasi hijau, memperkuat penegakan hukum lingkungan, dan meningkatkan ketahanan iklim serta efisiensi sumber daya (US Customs and Border Protection, n.d.).
Dalam menunjukkan kontribusi hijau Indonesia dari sektor kepabeanan, maka diperlukan “strategi kepabeanan hijau” tersendiri. Adapun dalam kebijakannya, pemerintah dapat melakukan 2 strategi, yakni melalui kebijakan tarif dan non tariff measures (NTMs). Kebijakan pertama, yakni melalui penetapan tarif. Hingga kini, penetapan tarif bea masuk yang diterapkan pemerintah Indonesia pada produk impor ramah lingkungan dapat dikatakan cukup rendah pada beberapa jenis produk, seperti untuk produk air pollution control, cleaner alternatives, dan waste management. Akan tetapi, merujuk pada data World Bank (2023, dalam Amaliah & Irawan, 2023), terdapat tarif yang cukup tinggi pada produk renewable energy, yakni dengan tarif maksimal 24,27, yang apabila dikomparasikan dengan negara tetangga, yakni Malaysia yang hanya memiliki tarif maksimal 7,88, maka dapat dinyatakan bahwa tarif Indonesia masih relatif sangat tinggi. Maka dari itu, diperlukan penyesuaian tarif yang dinilai dapat memihak pada produk-produk hijau. Adapun kebijakan selanjutnya dapat dilakukan melalui NTMs pada produk hijau. NTMs merupakan kebijakan non-tarif yang dapat mempengaruhi arus perdagangan. Adapun NTMs dapat dilakukan dengan tiga kategori, salah satunya NTMs pada produk impor terkait kuota impor, larangan impor, perizinan impor, prosedur penilaian kesesuaian, dan administrasi biaya. Dalam hal ini, pemerintah dapat membentuk batasan atas impor barang yang dibentuk melalui proses yang “tidak hijau” atau mempermudah izin atas barang impor yang “hijau”. Lebih lanjut, pemerintah Indonesia pada saat ini telah melakukan satu strategi, yakni memberikan pembebasan bea masuk atas impor peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan. Kebijakan ini dimandatkan melalui PMK Nomor 32 Tahun 2024.
Pada dasarnya, Indonesia selaku bagian dari ASEAN dengan memprioritaskan Roadmap of ASEAN Harmonized Standards to Support Sustainable Development Goals (SGDs), sudah sepatunya Indonesia menginisiasi serta mengambil aksi. Akan tetapi, dalam penerapannya, diharapkan pemerintah memberikan keberpihakan tersendiri bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang menjadi imbas atas kebijakan yang ingin diambil sebab merupakan sektor yang mudah “terguncang” atas implementasi kebijakan baru, dalam hal ini untuk bersaing dengan perusahaan luar yang menggunakan strategi “hijau” agar terbebas dari bea masuk. Terguncangnya UMKM dapat disebabkan ketidakmampuan UMKM dalam bersaing secara harga sebab tidak adanya bea masuk yang harus dibayar atas barang impor “hijau” sehingga memungkinkan masyarakat mengalihkan konsumsinya dari produk dalam negeri menjadi produk luar negeri. Pada dasarnya, reformasi untuk memberikan kontribusi serta mendorong transisi menuju masa depan hijau menjadi suatu tujuan yang ingin dicapai sehingga diperlukan komitmen antarpihak agar mampu mencapai tujuan. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan matang, yang tidak hanya cepat, namun cepat dan tepat dalam mengimplementasikan kepabeanan hijau.