telusur.co.id - Senior Kurator dan Himpunan Kurator Pengurus Indonesia (HKPI), Dr. Azet Hutabarat, S.H., M.H, menjelaskan, bahwa restrukturisasi merupakan upaya untuk menyelamatkan perusahaan dari kepailitan, dengan melakukan perubahan dalam aspek keuangan, operasional, dan manajerial. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kesehatan finansial perusahaan, meningkatkan efisiensi, serta memastikan kelangsungan bisnis agar tetap berjalan.
“Restrukturisasi bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti negosiasi ulang dengan kreditur, pengurangan utang, atau perubahan struktur organisasi agar lebih adaptif terhadap kondisi pasar,” ujar Azet dalam Diskusi Hukum dengan topik Peluang dan Ancaman Kepailitan Dalam Dunia Usaha, Tantangan Baru Fh Ubhara Unggul Dalam Menjawab Persoalan Kepailitan” yang digelar secara online, Kamis (30/1/2025).
Selain itu, Dr. Azet juga menekankan bahwa, penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) bisa menjadi solusi bagi perusahaan yang masih memiliki potensi untuk kembali sehat. PKPU memberikan waktu bagi perusahaan untuk merestrukturisasi utangnya, dan melakukan negosiasi dengan para kreditur, agar bisa mendapatkan kesepakatan pembayaran yang lebih ringan atau fleksibel.
Dalam proses ini, perusahaan tetap memiliki kesempatan untuk beroperasi dan meningkatkan kinerjanya, tanpa tekanan langsung dari kewajiban pembayaran yang besar. Namun, agar PKPU efektif, diperlukan kerja sama yang baik antara perusahaan, kreditur, serta pihak-pihak terkait untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak dan mencegah kepailitan yang lebih dalam.
Ditambahkan Wakil Ketua Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI), Dr. Lenny Nadriana, S.H., M.H. menjelaskan, bahwa perguruan tinggi memiliki peran penting dalam membumikan hukum kepailitan agar lebih dipahami dan diterapkan secara efektif di dunia industri. Tujuannya adalah untuk mencetak lulusan yang tidak hanya memahami aspek teoritis hukum kepailitan tetapi juga mampu mengaplikasikannya dalam praktik bisnis.
“Perguruan tinggi dapat menyesuaikan kurikulumnya dengan kebutuhan industri, seperti memberikan pemahaman tentang restrukturisasi perusahaan, mekanisme PKPU, serta regulasi terkait kepailitan yang terus berkembang, “ terangnya.
Selain itu, melalui penelitian dan kerja sama dengan pelaku industri, perguruan tinggi dapat berkontribusi dalam menciptakan kebijakan hukum yang lebih adaptif dan solutif bagi perusahaan yang menghadapi risiko kepailitan. Dengan demikian, lulusan hukum dapat menjadi profesional yang siap menghadapi tantangan dunia industri serta membantu perusahaan dalam mengelola risiko hukum secara lebih efektif.
Sementara itu, Guru Besar Kaprodi S3 FH Ubhara Jaya, Prof. Dr. Alum Simbolon, S.H., M.Hum menjelaskan, bahwa hukum korporasi memiliki keterkaitan erat dengan kepailitan karena mengatur berbagai aspek dalam kehidupan suatu perusahaan, termasuk tanggung jawab direksi, pemegang saham, serta hubungan dengan kreditur. Dalam hukum korporasi, terdapat prinsip-prinsip yang mengatur bagaimana perusahaan harus dikelola agar tetap sehat secara finansial dan terhindar dari kepailitan, seperti tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) dan kepatuhan terhadap regulasi keuangan.
Jika sebuah perusahaan mengalami kebangkrutan, hukum korporasi juga berperan dalam menentukan mekanisme penyelesaian utang, perlindungan terhadap hak-hak kreditur dan pemegang saham, serta tanggung jawab direksi jika ditemukan unsur kelalaian atau penyalahgunaan wewenang.
“Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang hukum korporasi menjadi kunci bagi pelaku bisnis dalam mengelola risiko kepailitan, serta memastikan keberlanjutan usaha mereka di tengah dinamika industri yang terus berubah, “ ungkap Prof Alum.
Dosen S3 FH Ubhara Jaya, Dr. Joko Sriwidodo, S.H., M.H., M.Kn. menerangkan, bahwa dalam hukum kepailitan, baik debitor maupun kreditor dapat menghadapi ancaman pidana jika terbukti melakukan tindakan yang melanggar hukum. Bagi debitor, ancaman pidana dapat muncul jika mereka dengan sengaja melakukan perbuatan curang seperti menyembunyikan aset, memalsukan laporan keuangan, atau melakukan tindakan yang merugikan kreditur sebelum atau selama proses kepailitan. Sementara itu, bagi kreditor, ancaman pidana dapat terjadi jika mereka melakukan tindakan yang tidak sah, seperti pemaksaan, manipulasi proses kepailitan, atau praktik penagihan yang bertentangan dengan hukum. Hukuman bagi pelanggaran ini dapat berupa denda, sanksi administratif, hingga pidana penjara, tergantung pada tingkat kesalahannya. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak yang terlibat dalam kepailitan untuk bertindak secara jujur dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari konsekuensi pidana.
Sementara itu, Senior HKPI, Ragan V. Antariksa, S.H., M.Kn. menambahkan, bahwa mencegah ancaman kepailitan memerlukan mekanisme yang terstruktur, mulai dari manajemen keuangan yang baik hingga kebijakan hukum yang mendukung. Salah satu langkah utama adalah dengan melakukan analisis keuangan secara berkala untuk mengidentifikasi potensi masalah sebelum menjadi krisis.
Selain itu, perusahaan perlu menerapkan strategi restrukturisasi utang lebih awal jika mulai mengalami kesulitan likuiditas, seperti renegosiasi dengan kreditur atau mencari sumber pendanaan alternatif. Dari sisi hukum, perusahaan dapat memanfaatkan skema perlindungan hukum seperti Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) untuk mendapatkan waktu lebih dalam menyusun strategi pemulihan. Selain itu, transparansi dalam laporan keuangan dan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) juga menjadi faktor penting dalam menjaga kepercayaan investor serta kreditur, sehingga perusahaan dapat menghindari kondisi yang berujung pada kepailitan. (fie)