Komersialisasi - Telusur

Komersialisasi


Oleh: Suroto*


Hari ini, apapun yang ada di republik ini telah mendekati sempurna mengikuti mekanisme pasar. Segalanya telah terkomersialisasi dan terkomodifikasi. Dari kebutuhan pokok alias sembako, barang atau layanan publik, hingga soal politik kekuasaan sekalipun. Semua telah bebas liar mengikuti mekanisme pasar. 

Minyak goreng misalnya, semua sudah ditentukan oleh mekanisme pasar.  Bahan baku minyak goreng seperti CPO (Crued Palm Oil) itu mengalir mengikuti mekanisme pasar. Kemana barang itu berikan keuntungan tertinggi kesanalah barang itu pergi. 

Harga CPO internasional yang membumbung tak dapat dicegah lagi. Bahan baku minyak goreng ini membuat jerit rakyat tak terperi.  Lima gelintir mafia kartel minyak sawit yang kuasai hulu hilir industri ini tak peduli. Mereka bekerja mengikuti rasionalitas bisnis semata. Para pemegang  konsesi lahan sawit dan hilir industri minyak itu telah lumpuhkan pemerintah. 

Tak hanya minyak, juga semboko lainya. Dari kedelai, gula, garam, dan lain lainya. Bahkan barang publik seperti tanah, air dan udara sebetulnya juga telah lepas semua mengikuti arah gerak pemilik sumber modal. Siapa yang punya modal finansial tinggi, merekalah yang menguasai.

Jutaan tanah telah terkapling dan diserobot oleh para pemilik perusahaan tambang dan perkebunan. Petani kita isinya 74 persen tinggal sebagai buruh tani dan petani gurem. Mereka telah dibiarkan kehilangan tanahnya sejak lama. 

Soal pangan alias isi perut tak lagi diserahkan pada para petani. Tapi pada kuasa importir pangan yang mendapatkan privelege kebijakan. Elit kaya itu bangun kongkalikong dengan pembuat kebijakan. Mereka katakan lelang terbuka tapi sesungguhnya telah tentukan siapa pemenangnya. 

Sekolah, kampus, rumah sakit, jalan raya, semua telah jadi lahan rebutan para pengejar keuntungan. Lagi lagi pemerintah tak mampu lagi hadir untuk mencegahnya. Tidak lagi lumpuh hadapi komodifikasi dan komersialisasi, tapi telah mati. 

Politik kekuasaan kita hari ini juga sudah ditentukan oleh pasar. Mereka yang rajin beriklan paling gencar adalah yang diterima oleh pasar. Seorang presiden, gubernur, bupati, walikota dan anggota parlemen misalnya, adalah telah diisi oleh mereka yang memiliki kemampuan beriklan tertinggi. Tak lagi pedulikan soal reputasi. Pemimpin dimana mana dilahirkan dari iklan dan pencitraan, bukan mesin reputasi dan kepercayaan. 

Pemerintah atau eksekutif dan parlemen dimana mana telah diisi oleh mereka yang punya latar belakang privelege kekuasaan feodalisme, berlatar preman, orang orang superkaya atau setidaknya dari mereka yang mau berkonsesi atau berbagi kepentingan proyek dengan elit kaya. 

Jalin kelindan elit politik dan elit kaya hari ini telah kangkangi kepentingan rakyat jelata. Undang undang dibentuk sebagai rompi pengaman kepentingan mereka. Kebijakan dibentuk bukan untuk kepentingan rakyat, tapi sembunyikan hak istimewa bagi para oligarki. Mereka bahkan hari ini telah terang terangan duduk mengisi kursi pemerintahan dan parlemen secara vulgar. 

Mekanisme pasar sempurna yang murni ditentukan oleh fungsi permintaan dan penawaran itu tak ada. Semua harga ada dalam cengkeram preman dan jengggo pasar. 

Pasar sempurna sebagai mimpi besar Adam Smith ternyata hanya ada di surga. Filsuf ini tak pernah menduga jika semua yang hanya ada dalam mimpinya itu dijadikan sebagai kepercayaan banyak orang, jadi bahan pengambilan kebijakan. Mashab neo klasikal,  neo liberal, neo fundamentalis pasar yang mengacu pada teori dunia mimpi itu terus didengungkan di mana mana, direproduksi di kampus dan kelompok epistemik. Lalu mereka semua direkrut sebagai penasehat utama.  

UU Cipta Kerja ( Celaka) dibentuk untuk memuluskan kemauan elit politik dan elit kaya. Proyek mega infrastruktur dibangun dengan utang ugal ugalan dipentingkan sebagai pendukung investasi asing semata. Harga harga komoditi dikendalikan secara oligopoli, mafia kartel terus permainkan harga pangan rakyat kita. 

BUMN tidak lagi berfungsi sebagai agen pembangunan, dan hanya berorientasi kejar keuntungan serta dijadikan sebagai bagian dari permainan kekuasaan. Perusahaan itu bukan bekerja dalam kuasa rakyat tapi justru sebaliknya,  untuk menggencet rakyat. 

Kesenjangan sosial ekonomi semakin meninggi. Rasio Gini kita telah berada diangka 0,77 dari skala 0 hingga 1. Orang dewasa Indonesia 83 persen hanya punya harta di bawah 150 juta. Rata rata dunia padahal hanya 58 persen saja. Rakyat dewasa Indonesia yang punya harta di atas 1,5 hanya 1,1 persen saja. Sedangkan rata rata dunia  jumlahnya 10, 6 persen ( Suissie Credit, 2020).  Segelintir elit kita menjadi super kaya raya. Rakyat banyak miskin tiada tara. Ada 4 anggota keluarga kekayaannya sama dengan 100 juta rakyat Indonesia. 

Globalisasi dengan liberalisasi pasar yang telah didengungkan sejak 1980 an saat ini telah  merangsek masuk menghabisi kepentingan rakyat banyak secara sempurna. Semua aturan dideregulasi, semua sektor diprivatisasi, dan semua ruang telah diliberalisasi. 

Negara tak lagi punya gigi. Rakyat dikangkangi. Semua ditentukan oleh kepentingan segelintir pemilik korporasi. Apa yang baik untuk pasar atau untuk korporasi, dianggap adalah baik untuk semua rakyat Indonesia. Selamat datang pasar persaingan sempurna!. Selamat menikmati era Komer-Sial-Isasi![***]


*) Ketua AKSES Indonesia


Tinggalkan Komentar