Komnas HAM: Gerakan Penghapusan Hukuman Mati Terus Disuarakan PBB - Telusur

Komnas HAM: Gerakan Penghapusan Hukuman Mati Terus Disuarakan PBB

Ilustrasi hukuman mati. Foto: Istimewa

telusur.co.id - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah mengatakan, gerakan penghapusan hukuman mati masih terus disuarakan oleh Komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang kerap dikenal KUHP Baru.

"Gerakan penghapusan hukuman mati semakin menggembirakan, sehingga PBB terus melakukan upaya itu di seluruh dunia agar gerakan itu mendapat respons lebih baik, termasuk di Indonesia," kata Anis dalam diskusi publik untuk memperingati Hari Antihukuman Mati Internasional 2024 pada Kamis (10/10/24). 

Menurut Anis, meski resolusi Komisi HAM PBB masih mengakui adanya hukuman mati yang masih diberlakukan oleh sejumlah negara di dunia, tetapi di lain sisi resolusi itu juga meminta penghapusan hukuman mati di seluruh negara.

Resolusi itu menekankan bahwa penghapusan hukuman mati membutuhkan waktu dan proses yang kemudian harus dilakukan secara bertahap dengan membatasi jenis kejahatan yang diancam hukuman mati. Resolusi itu juga menetapkan adanya moratorium pelaksanaan hukuman mati.

Menindaklanjuti upaya PBB itu, menurut Anis, hukum nasional yang memuat ketentuan hukuman mati dengan demikian harus pula memenuhi ketentuan tersebut dan tidak mengandung unsur-unsur ketidaksahan dan bersifat tidak adil.

Ia menilai, di Indonesia langkah penghapusan itu sudah menunjukkan kemajuan yang intens. Karena sudah mulai membatasi jenis kejahatan yang bisa diancam dengan hukuman mati.

Anis menambahkan, melalui KUHP Baru yang mulai berlaku Januari 2026, terpidana mati masih terbuka peluang untuk mendapatkan perubahan hukuman melalui sejumlah persyaratan dan tata cara yang sudah diatur dalam mekanisme perundang-undangan.

"Batasan pelaksanaan juga ada, yakni hanya untuk kejahatan paling serius, hak atas fair trial harus terpenuhi, perlindungan hak atas identitas, menggunakan asas retroaktif, dan penundaan pelaksanaan bagi terpidana hamil serta gangguan jiwa," ujarnya. 

Dalam KUHP Baru yang mulai berlaku Januari 2026, hukuman mati bukan lagi masuk menjadi pidana pokok, melainkan pidana bersifat khusus.

Nantinya, pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat. Sehingga hukuman pidana itu akan ditentukan dalam pasal tersendiri guna menunjukkan bahwa hal itu benar-benar bersifat khusus.

Pidana sendiri terdiri atas pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

Sementara, pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.

KUHP Baru itu juga memungkinkan terjadinya perubahan hukuman mati bagi terpidana, dengan memenuhi sejumlah syarat serta melalui tata cara yang telah diatur dalam mekanisme yang berlaku.[Fhr]


Tinggalkan Komentar