telusur.co.id - Oleh : Dr. Hananto Widodo, S.H., M.H.
Pemerintahan Prabowo yang belum genap satu tahun ini langsung mendapatkan ujian yang tidak mudah. Ujian ini kelihatannya sepele jika dikaitkan dengan aspek ekonomi, tetapi cukup krusial jika dilihat dari aspek politik ketatanegaraan. Ujian ini cukup berat bagi Prabowo karena selama ini stigma anti demokrasi kerap diarahkan ke Prabowo karena latar belakang dia yang hingga sekarang masih belum selesai dengan dugaan pelanggaran HAM masa lalu.
Ujian ini berupa banyaknya penolakan terhadap RUU TNI yang dicurigai publik akan mengembalikan fungsi TNI seperti pada masa Orde Baru, di mana pada masa itu TNI menempati hampir di semua jabatan sipil. Revisi terhadap UU TNI ini paling tidak mengandung 2 kelemahan mendasar. Kelemahan pertama terkait dengan prosedur. Sebagaimana diketahui pasca putusan MK No. 91/PUU-XVIII2020 dalam melakukan proses pembentukan uu, pembentuk uu harus mendasarkan pada proses keterbukaan dan harus melibatkan partisipasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat yang dimaksud di sini bukan sekedar partisipasi yang bersifat formalitas semata, tetapi partisipasi masyarakat di sini adalah partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningfull participation). Paling tidak ada 3 komponen yang harus dipenuhi dalam partisipasi ini. Pertama, hak masyarakat untuk didengar, kedua hak masyarakat untuk dipertimbangkan dan ketiga adalah hak masyarakat untuk diberi penjelasan.
Dari aspek hukum administrasi bentuk partisipasi masyarakat, jika masyarakat tidak setuju dengan sebuah undang-undang yang akan dibentuk adalah berupa adanya mekanisme keberatan terhadap rancangan undang-undang yang akan dibentuk itu. Pelibatan partisipasi masyarakat dalam proses revisi UU TNI akan sangat diperlukan karena bagaimanapun isu terhadap revisi UU TNI ini bukan isu yang main-main.
Kegagalan pembentuk UU dalam mengelola isu dalam revisi UU TNI akan berakibat pada terancamnya nasib demokrasi di Indonesia.
Isu partisipasi masyarakat yang terabaikan ini muncul tatkala DPR melakukan pembahasan secara sembunyi-sembunyi di hotel fairmont. Pembahasan revisi UU TNI di hotel fairmont ini mengundang banyak kritik dari publik. Karena pembahasan suatu RUU di hotel bintang 5 ini bukan sesuatu yang lazim dilakukan, terutama dalam kaitannya dengan pembahasan RUU TNI yang mengandung kontroversi.
Kelemahan yang lain adalah terkait dengan substansi dari RUU TNI itu yang telah memberikan perluasan peluang bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil. Bagaimanapun juga, publik masih trauma dengan politik dwi fungsi TNI yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru. Perluasan bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil ini oleh publik dianggap menciderai semangat reformasi. Salah satu point reformasi pasca Orde Baru adalah menjadikan TNI sebagai militer yang profesional, yang bebas dari politik.
Dengan semakin besarnya peluang TNI untuk menduduki jabatan sipil, maka semakin besar pula TNI untuk bersentuhan dengan dunia politik. Sesuatu yang oleh pegiat demokrasi merupakan paradoks dalam negara demokrasi. Memang anggota DPR telah menjamin bahwa RUU TNI ini tidak akan membawa kembali TNI seperti pada masa Orde Baru.
Kalau dilihat secara obyektif, ketakutan publik terhadap semakin banyak TNI yang akan menduduki jabatan sipil ini bukan tanpa alasan. Publik akan curiga bahwa ini merupakan langkah awal untuk melakukan militerisasi di ranah sipil. Jika tidak dicegah mulai sekarang, maka kemungkinan besar TNI akan mengembangkan pengaruhnya, bahkan mungkin TNI yang memilki fungsi ganda seperti Orde Baru akan kembali terulang.
Semakin menguatkan pengaruh TNI di ranah sipil tentu berpotensi menggerus supremasi sipil yang merupakan pilar utama dalam negara demokrasi. Memang pos-pos jabatan sipil yang akan ditempati oleh TNI sebagian merupakan pos jabatan sipil yang ada kaitannya dengan fungsi TNI, seperti Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Namun ada juga pos yang agak riskan jika itu diduduki oleh TNI, seperti Badan Penanggulangan Terorisme dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Terkait dengan Badan Penanggulangan Terorisme mungkin DPR akan berkilah kalau bahaya terorisme tidak hanya terkait dengan masalah keamanan yang merupakan domain dari Kepolisian, tetapi juga merupakan domain dari TNI, karena kejahatan terorisme pasti berkaitan jaringan internasional yang itu dalam penanganannya membutuhkan peran TNI.
Begitu juga dengan BNN kemungkinan DPR juga akan berkilah kalau penanganan Narkotika juga harus melibatkan TNI, karena kejahatan narkotika juga memiliki dimensi pertahanan yang merupakan domain TNI.
Bagaimanapun juga isu-isu krusial yang ada dalam RUU TNI tidak akan menjadi pertanyaan publik jika RUU ini dibahas secara transparan. Penguatan terhadap profesionalisme TNI memang harus terus dilakukan, tetapi konsep profesionalisme yang bagaimana ? Itu yang harus didiskusikan dengan publik.
Jika ditilik dari program kerja Prabowo-Gibran ketika dirilis pada waktu debat Capres-Cawapres pada 2024 lalu, Prabowo-Gibran sangat mencurahkan atensinya terkait perkembangan geopolitik global jelang 2045.
Antisipasi terhadap perkembangan geopolitik jelang 2045 adalah dengan memperkuat sistem pertahanan kita. Menguatkan sistem pertahanan dan keamanan bahkan telah tertuang dalam point kedua Asta Cita Prabowo-Gibran. Point kedua dari Asta Cita ini yang mungkin menjadi landasan bagi DPR dalam melakukan revisi terhadap UU TNI dalam rangka memperkuat sistem pertahanan dan keamanan Indonesia.
Anggota DPR yang sebagian besar merupakan bagian dari koalisi merah putih tentu memiliki kewajiban politik untuk mendukung setiap langkah kebijakan dari Prabowo-Gibran.
Koalisi gemuk yang dibangun oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran ini juga memiliki implikasi yang tidak baik pada negara yang memiliki iklim demokrasi. Relasi yang saling mengimbangi antara eksekutif dan legislatif akan menjadi lemah. Oleh karena itu, jika Presiden memiliki kehendak politik yang membahayakan demokrasi akan dengan cepat mendapat legitimasi dari DPR.
Jika itu yang terjadi, maka harapan terhadap DPR untuk melakukan pengawasannya terhadap Pemerintah akan semakin tipis. Harapan terhadap “nyala” semangat demokrasi hanya bisa digantungkan pada para intelektual dan publik yang peduli terhadap kehidupan demokrasi di negeri ini.
*Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya (Unesa).