Oleh: Roni Adi, SE., MM*

 

Di tengah ketimpangan ekonomi yang kian terasa, muncul sebuah langkah berani dari negara: menggulirkan program 80.000 Koperasi Desa Merah Putih. Ini bukan sekadar program, tapi bisa jadi penanda lahirnya politik keberpihakan baru dari negara terhadap ekonomi rakyat. Sebuah komitmen langka, sekaligus peluang besar.

Koperasi bukan hal baru dalam nadi ekonomi Indonesia. Ia telah lama hidup sebagai representasi dari nilai gotong royong dan semangat kekeluargaan. Bahkan dalam konstitusi kita, Pasal 33 UUD 1945, koperasi disebut sebagai bentuk ideal pengelolaan ekonomi bangsa. Namun, pertanyaan yang terus mengemuka adalah: bisakah semangat luhur itu bertahan di tengah derasnya intervensi politik dan birokrasi?

Koperasi Mandiri: Bergerak dari Bawah, untuk Rakyat

Koperasi mandiri adalah bentuk koperasi yang lahir dari kebutuhan dan inisiatif masyarakat sendiri. Bukan sekadar hasil keputusan rapat di kantor kementerian. Di dalam koperasi seperti ini, warga menjadi subjek yang aktif, bukan objek pembangunan.

Koperasi semacam ini bisa kita lihat dari beberapa contoh sukses yang sudah lebih dulu berjalan:

- KUD Mino Saroyo (Cilacap) yang berhasil menumbuhkan perekonomian pesisir dengan usaha perikanan dan diversifikasi bisnis.

- Koperasi Eta Maritim (Bontang) yang memperkuat budidaya laut lewat keramba jaring apung dan pelatihan SDM.

- Buana Walatra Sejahtera (Lembang) yang menggabungkan pertanian kopi dengan konservasi lingkungan dan nilai tambah produk.

- Koperasi KAREB (Bojonegoro) yang bahkan mampu membeli pabrik eks tempat kerja anggotanya dan kini menjadi koperasi dengan omzet miliaran rupiah serta ekspor ke berbagai negara.

Lalu, apa kunci sukses mereka?

Visi bisnis yang jelas, manajemen profesional, partisipasi aktif anggota, serta kemampuan beradaptasi dan berinovasi.

Negara Hadir, Tapi Jangan Mendominasi

Koperasi Merah Putih sebagai inisiatif negara patut diapresiasi. Terutama karena niat di baliknya: negara ingin memberi ruang dan dukungan nyata bagi tumbuhnya ekonomi rakyat. Negara menyediakan dana, pelatihan, bahkan memfasilitasi kemitraan dengan BUMN dan lembaga keuangan. Ini adalah bentuk politik keberpihakan yang nyata.

Namun, niat baik saja tidak cukup. Yang perlu dijaga adalah agar koperasi tidak menjadi proyek semata. Sebab jika terlalu birokratis, koperasi bisa kehilangan semangat kemandiriannya. Lebih buruk lagi, ia bisa berubah menjadi alat distribusi program semusim, yang hidup dan mati tergantung arah angin politik.

Di sinilah kritik para pakar koperasi jadi penting. Mereka menekankan bahwa koperasi harus tetap otonom. Bahkan PBB dan International Cooperative Alliance (ICA) menegaskan bahwa koperasi hanya akan efektif jika dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip dasarnya: kendali demokratis, keanggotaan terbuka, partisipasi ekonomi, dan kemandirian.

Pemerintah tidak boleh menjadi sutradara dalam koperasi, cukup sebagai fasilitator. Karena jika semua diarahkan dari pusat, koperasi hanya akan jadi replika dari proyek-proyek masa lalu yang tidak berumur panjang.

Kolaborasi Adalah Kekuatan Baru

Koperasi zaman sekarang juga tidak bisa berjalan sendiri. Mereka perlu membangun kolaborasi—baik dengan koperasi lain, lembaga keuangan, maupun swasta. Di sinilah peran koperasi sekunder menjadi strategis. Mereka bisa menjadi "kakak asuh" bagi koperasi primer: memberi pelatihan, pembiayaan, bahkan akses pasar.

Contoh sukses kolaborasi ini bisa kita lihat dari koperasi seperti KAREB di Bojonegoro dan KOMBARA di Banten, yang tak hanya mandiri, tapi juga membina koperasi lain dalam ekosistem yang berkelanjutan.

Kolaborasi juga memperkuat posisi koperasi di pasar bebas. Dalam sistem ekonomi global yang kompetitif, koperasi harus gesit, efisien, dan inovatif. Semua itu hanya bisa dicapai jika mereka saling berbagi sumber daya dan pengetahuan.

Faktor Penting: Tata Kelola dan Partisipasi

Koperasi yang kuat lahir dari partisipasi aktif anggotanya. Ketika anggota merasa memiliki, mereka akan ikut merawat dan mengembangkan koperasi. Oleh karena itu, struktur tata kelola koperasi harus demokratis dan transparan.

Kepemimpinan koperasi juga tidak bisa asal tunjuk. Perlu ada regenerasi, pelatihan kepemimpinan, dan sistem yang adil. Tanpa ini, koperasi rentan menjadi milik segelintir orang, yang bertentangan dengan prinsip dasarnya.

Manajemen keuangan pun tak kalah penting. Koperasi harus mampu mengelola dana dengan bijak, punya cadangan modal, dan tidak terlalu bergantung pada hibah pemerintah. Hanya koperasi yang sehat secara keuangan yang bisa tumbuh berkelanjutan.

Menuju Masa Depan Ekonomi Rakyat

Koperasi Merah Putih adalah momentum. Momentum untuk membalik arah pembangunan ekonomi: dari atas ke bawah, dari elite ke rakyat. Tapi untuk benar-benar menjadi solusi, koperasi ini harus diberi ruang untuk tumbuh dari bawah.

Pemerintah harus berani melepaskan kontrol, dan menggantinya dengan kepercayaan. Biarkan rakyat yang menentukan bentuk dan arah koperasinya, sesuai kebutuhan lokal dan potensi masing-masing desa. Negara hanya perlu memberi akses, bukan mengatur arah.

Jika semua pihak—pemerintah, gerakan koperasi, masyarakat sipil—mau duduk bersama, maka koperasi bisa jadi jalan tengah yang mempertemukan efisiensi pasar dan keadilan sosial. Inilah pembangunan ala Indonesia: berakar pada rakyat, tapi tetap relevan dengan tantangan zaman.

Koperasi bukan hanya alat ekonomi, tapi alat perubahan sosial. Ia adalah wajah paling nyata dari demokrasi ekonomi. Dalam koperasi, tidak ada majikan dan buruh, hanya sesama anggota yang saling menguatkan. Jika semangat ini bisa dijaga, maka Koperasi Merah Putih bukan sekadar proyek, tapi warisan.

*Penulis adalah Pemerhati Isu Ekonomi Kerakyatan dan Koperasi, Pendiri Perkumpulan Betawi Kita dan Dosen di Institut Teknologi Batam.