Oleh: Emrus Sihombing*
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) di bawah kepemimpinan Firli Bahuri terus bekerja atas dasar Undang-Undamg (UU). Institusi ini tidak pernah tunduk pada kekuasaan apapun, termasuk pengaruh dari pusat kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif.
Sejumlah bukti dapat dikemukakan bahwa KPK bekerja imparsial. Jangankan gubernur, dua menteri dari kader dua partai papan atas dan berkuasa saat ini, sudah divonis terbukti sah melakukan tindak pidana korupsi. Bahkan baru-baru ini seorang hakim agung sedang menjalani tahapan proses di KPK karena diduga kuat terlibat tindak pidana korupsi.
Jadi, sama sekali tidak ada tebang pilih atau pilih tebang penegakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi di tanah air oleh KPK.
Kepemimpinan Firli Bahuri, saya melihat, KPK tidak pernah menarget sosok tertentu diproses atas dugaan tindak pidana korupsi, kecuali karena ada cukup bukti hukum keterlibatan dugaan tindak pidana korupsi.
Saat ini ada beberapa aktor sosial/politik berpendapat di ruang publik seolah "menuduh" KPK bermanufer menjegal Anies Baswedan pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Pandangan ini saya pastikan sebagai framing politik menuju Pemilu 2024. Sebab, pesan.komunikasi politik yang dilontarkan aktor politik dipastikan didorong oleh kepentingan politik orang yang bersangkutan. Karena itu, berpotensi menimbulkan manipulasi persepsi publik.
Sebab menurut hemat saya, pandangan tersebut sangat-sangat berlebihan, dan cenderung tidak berdasar, karena pendapat mereka tidak disertai fakta, data dan bukti hukum yang kuat. Para aktor sosial/politik tersebut sedang melakukan politisasi penegakan hukum di ruang publik.
Oleh karena itu, wacana tersebut selain tidak melakukan pendidikan kesadaran hukum yang benar kepada masyarakat dipastikan juga berpotensi mengganggu dalam upaya kita bersama KPK memberantas korupsi di tanah air dan menjadikan hukum sebagai "panglima" di negeri kita sebagai negara demokrasi.
Perlu harus kita sadari bersama bahwa "mengurai" dugaan keterlibatan seseorang melakukan tindak pidana korupsi, tidak semudah seolah "menuduh" ada manuver menjegal Anies Baswedan pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Sebab, untuk menetapkan seseorang menjadi saksi, dan atau tersangka dan atau terdakwa dalam dugaan tindak pidana korupsi saja, KPK pasti berkerja prudent tanpa mengenal waktu dengan mengerahkan SDM ASN dari hasil test wawasan kebangsaan (TWK) yang ada di KPK dengan penggunaan dana yang sangat-sangat terbatas dan transfaran untuk mencari serta memperoleh bukti awal yang sangat memadai.
Belum lagi, sebelum semua pegawai KPK dari ASN, bisa jadi data dan atau bukti terkait kemungkinan seseorang menjadi saksi dan atau tersangka belum terkelola seperti yang dilakukan oleh ASN di KPK saat ini, karena waktu itu acapkali ada oknum pegawai KPK berperan tidak inline dengan statusnya di KPK. Misalnya, penyidik seolah perperan Jubir KPK, sehingga saat itu terjadi disorder sosial. Setelah TWK, KPK sudah lebih tertata.
Salah satu fenomena, ada dugaan pencurian barang bukti (barbuk) oleh oknum KPK waktu itu. Atas dasar dugaan tersebut terbuka kemungkinan muncul hipotesa, tentu sebelum semua pegawai KPK dari ASN, bisa saja ada oknum (seperti pencuri barbuk) berusaha mengaburkan/menghilangkan jejak atau bukti yang berpotensi terkait dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang yang berpengaruh di ruang publik. Jika hipotesa ini mendekati teruji apalagi sudah teruji, dipastikan KPK akan bekerja ekstra menelusuri, mencari dan menemukan. Ketika ketemu, bisa saja seseorang yang terkait dugaan tindak pidana korupsi diproses sesuai tahapan hukum selanjutnya.
Intinya, biarkan KPK bekerja profesional, objektif dan netral demi pemberantasan korupsi yang sudah menjadi kejahatan luar biasa di Indonesia. Oleh sebab itu, sejatinya semua komponen bangsa mendukung KPK.
Untuk itu, jangan ada elit politik di negeri ini mencoba-coba "mengganggu" atau mempolitisasi semua peran, fungsi dan tugas KPK dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia.
Selain itu, untuk memberi pencerahan kepada masyarakat di ruang publik dan sekaligus pertanggungjawaban akademik saya sebebagai komunikolog Indonesia, saya besedia debat terbuka dengan para pihak yang seolah "menuduh" KPK bermanufer menjegal Anies Baswedan pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
*) Penulis adalah Komunikolog Indonesia