Telusur.co.id - Komisi Pemilihan Umum tetap tidak akan mengubah PKPU nomor 3 tahun 2017, yang mengatur calon kepala daerah tak bisa diganti.
Hal itu sebagaimana disampaikan Ketua KPU RI, Arief Budiman dalam diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu (17/03/18).
“PKPU diganti, saya gak setuju,” kata Arief.
Menurutnya, peraturan mengenai pemilu saat ini masih sangatlah relevan untuk dijalankan.
Bahkan, kata dia, peraturan Indonesia mengenai pemilu merupakan peraturan yang terbaik se-dunia. Karena hanya Indonesia-lah ketententuan tempat kotak suara diatur dalam Undang Undang.
Arief mengatakan, bila peraturan itu diubah, yang artinya Parpol bisa ganti “pemain” yang bermasalah dalam Pilkada, maka tidak akan menimbulkan efek jera.
“Ini kedepan tidak akan menjadi perhatian (dari Parpol). Toh, kalau ditetapkan sebagai tersangka bisa diganti. Jadi biar saja seperti ini biar semua menjadi pembelajaran.”
Arif kemudian mengusulkan agar para peserta pemilu yang dijadikan tersangka oleh KPK, agar di diskualifikasi.
“Kalau saya mengusulkan diskulifikasi. Karena jarang kalau jadi tersangka KPK jarang bisa lepas. Itu untuk menjadi efek jera bagi parpol dan berhati-hati,” katanya.
Diketahui, ditetapkannya calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mustafa sebagai tersangka KPK, menambah deretan kepala daerah yang bermasalah jelang Pilkada 2018.
Setidaknya, saat ini KPK telah mengantongi 86 orang tersangka dari unsur kepala daerah sejak lembaga antirasuah itu berdiri tahun 2002. Unsur kepala daerah yang dijerat KPK pun lengkap dari Aceh sampai Papua.
Hanya saja, meski telah ditetapkan sebagai teesangka. parpol tidak bisa menarik atau menggantikan sang calon sebelum adanya keputusan inkrah dari pengadilan. Hal itu sesuai dengan Peraturan KPK no 3 tahun 2017.
Dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2017 mengatur calon kepala daerah tak bisa diganti. Pasangan calon tak boleh mengundurkan diri setelah ditetapkan KPU dan partai politik pengusungnya dilarang menarik calon mereka. Pelanggar aturan ini bisa dipenjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan dengan denda sedikitnya Rp 25 miliar dan paling banyak Rp 50 miliar. [ipk]