telusur.co.id - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menggugah komunitas Diaspora Indonesia di Australia untuk meningkatkan kewaspadaan demi mencegah perpecahan bangsa.
“Saat ini kondisi dunia semakin memprihatinkan. Perang fisik dan ketegangan antarnegara semakin memuncak; proxy wars pun semakin menggerus energi, potensi, dan keamanan negara, sehingga apabila kita lalai, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi negara gagal, bahkan tercerai-berai,” ujar LaNyalla ketika menyampaikan pesan-pesannya kepada puluhan professional Indonesia yang bertatap muka dengannya di KBRI Canberra, Kamis (27/4/23).
Oleh karena itu, kata LaNyalla, manuver apa pun yang mengganggu kedaulatan, integritas wilayah NKRI, serta persatuan bangsa harus dicegah dan dilawan sekuat tenaga.
“Hal ini perlu saya tekankan, karena di Australia dan negara-negara lainnya di Pasifik Selatan masih ada pihak yang mendukung gerakan-gerakan separatis di Indonesia, termasuk di Papua. Mereka bahkan berkampanye di Eropa mencari dukungan,” ujarnya lagi.
Untuk menjaga keutuhan bangsa, jelas LaNyalla, maka semua bentuk ketidakadilan di dalam negeri sendiri harus kita singkirkan, khususnya yang menyangkut ketidakadilan di bidang politik dan ekonomi. Ketidakadilan merupakan bom waktu yang dapat merobek persatuan bangsa.
Senator Jawa Timur ini juga katakan, salah satu penyebab terjadinya ketidakadilan adalah cengkraman kuat oligarki politik dan oligarki ekonomi.
“Segelintir manusia menguasai sebagian besar kekayaan negeri kita, sehingga mayoritas penduduk tidak berkesempatan menikmati manfaat terbesar dari kekayaan sumber daya alam di negeri sendiri. Negerinya sangat kaya tetapi banyak rakyatnya masih miskin,” tandasnya.
Celakanya, oligarki ekonomi menjalin mutualisme dengan oligarki politik yang ikut mendapat manfaat dari penguasaan sumber daya alam secara tidak adil itu.
"Salah satu faktor pemicunya adalah amandemen Konstitusi 1999 sampai 2002 yang telah mengubah sebagian besar konstitusi kita, sehingga yang kita miliki sekarang bukan lagi UUD 1945 melainkan UUD 2002," ujar LaNyalla.
“Konsekuensinya, semua undang-undang yang dicetuskan sejak 2002 diarahkan untuk memenuhi kepentingan oligarki politik dan oligarki ekonomi,” imbuhnya.
Inilah sebabnya, katanya, dalam berbagai kesempatan ia selalu menyerukan untuk kembali ke sistem bernegara asli Indonesia yang dirumuskan para pendiri bangsa. Yang termaktub di Naskah Asli UUD 1945.
“Kita harus kembali. Kita sempurnakan dan perkuat yang kurang. Tetapi secara prinsip sistem tersebut menempatkan rakyat di lembaga tertinggi, di atas presiden. Sehingga kedaulatan bukan di tangan ketua partai dan presiden, ucapnya.
Di bidang politik, tegas LaNyalla, yang dibutuhkan adalah Demokrasi Pancasila, bukan Demokrasi Liberal seperti sekarang.
"Di bidang ekonomi, yang kita butuhkan adalah sistem ekonomi dimana negara berdaulat sesuai Pasal 33 UUD 1945 asli dan penjelasannya, sehingga kekayaan Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang. Di bidang hukum, yang kita butuhkan adalah rasa keadilan, bukan hanya kepastian hukum di mata penegak hukum,” tukas dia.
Dalam kunjungan kerja tersebut, Ketua DPD RI didampingi oleh Senator Bustami Zainudin (Lampung), Ria Mayangsari dan M. Syukur (Jambi), Amaliah dan Jialyka Maharani (Sumatera Selatan), Bambang Sutrisno (Jawa Tengah), Hilmy Muhammad (Yogyakarta), serta Ahmad Nawardi dan Adilla Azis (Jawa Timur).
Pada pertemuan di KBRI itu hadir di antaranya Deputy Chief of Mission Sjarief Alatas, Atase Pertahanan dan staf lokal kedutaan serta tokoh-tokoh masyarakat Indonesia dan perwakilan KAHMI, PPIA, PPLN, serta mahasiswa-mahasiswa program S-2 dan S-3 asal Indonesia. [Tp]