telusur.co.id - Kuasa hukum Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Viktor Santoso Tandiasa menilai potensi membentuk Kementerian Masyarakat Hukum adat melalui Mahkamah Konstitusi (MK) lebih efektif dan berpotensi terjadi jika dibandingkan dengan melewati jalur legislatif dan eksekutif.
Hal tersebut lantaran putusan MK yang berkekuatan hukum tetap harus diikuti oleh parlemen dan pemerintah sehingga Undang Undang soal masyarakat hukum adat dapat dibuat sebagai landasan terbentuknya kementerian.
"Jadi sudah enggak bisa tawar menawar lagi DPR dan presiden. Nah itu strategi kita," kata Viktor saat ditemui di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin.
Viktor menjelaskan jalan panjang tersebut dimulai dengan mengajukan permohonan uji materi atau judicial review ke MK terkait Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Senin (20/5).
Dalam uji materi tersebut, mereka meminta ada penambahan frasa "Masyarakat Hukum Adat" dalam pasal 5 ayat (2). Hal tersebut dilakukan agar pemerintah bisa menyelesaikan masalah masyarakat hukum adat dengan lebih maksimal.
Sejauh ini, lanjut Viktor, upaya pemerintah dalam menyelesaikan persoalan tentang masyarakat hukum adat kurang masif lantaran tugasnya saling tumpang tindih dengan kementerian lain.
Sehingga, penyelesaian secara maksimal pun dianggap Viktor tidak pernah terjadi. Padahal, dia menilai pemerintah bertanggung jawab mengurusi soal masyarakat hukum adat karena tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Lebih lanjut, Viktor menilai keputusan MK akan uji materi ini dianggap sudah mewakili seluruh pihak karena masing-masing hakim sudah mewakili beragam lapisan masyarakat.
"Karena hakim terdiri dari beberapa unsur, ada akademisi, ada politisi, itu harus bisa dikemas menjadi satu hal yang komprehensif," kata dia.
Jika pada akhirnya MK setuju perlu dibentuknya nomenklatur khusus untuk menyelesaikan masalah masyarakat hukum adat, maka otomatis eksekutif dan legislatif harus mengikuti putusan tersebut.
"Maka itu akan jadi perintah MK terhadap DPR untuk memasukkan itu ke dalam revisi undang undang yang sekarang sedang dilaksanakan," kata dia.
Viktor berharap proses yang sedang berjalan di MK dapat menghasilkan keputusan yang menguntungkan pihaknya. Dengan demikian, pemerintah dapat membentuk kementerian khusus untuk menyelesaikan masalah masyarakat hukum adat.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Hirmansyah memandang perlu political will atau kemauan politik untuk menuntaskan permasalahan masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia.
"Harus menggedor political will terlebih dahulu supaya persoalan masyarakat hukum adat bisa tuntas," kata Hirmansyah saat ditemui di kafe kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin.
Hirmansyah menegaskan bahwa kemauan politik pemerintah sangat perlu untuk melahirkan instrumen seperti undang-undang ataupun lembaga yang khusus menuntaskan soal masyarakat hukum adat.
Jika kemauan itu tidak ada, menurut dia, upaya untuk menuntaskan persoalan masyarakat adat tidak akan tuntas seperti yang terjadi saat ini.
Saat ini, setiap kementerian memiliki wewenang yang tidak maksimal dalam menyelesaikan masyarakat hukum adat lantaran dibatasi oleh tugas pokok dan fungsi (tupoksi) setiap kementerian.
Kini, pihaknya tengah memancing munculnya kemauan politik dari pemerintah dengan mengajukan permohonan uji materi atau judicial review ke MK terkait Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Dalam pokok uji materi, APHA meminta ada penambahan frasa "masyarakat hukum adat" pada pasal 5 ayat (2).
Ia berharap uji materi ini dapat melahirkan keputusan MK yang setuju pembentukan Kementerian Masyarakat Hukum Adat.
Dengan lahirnya putusan MK ini, dia yakin pemerintah dan legislatif akan memiliki kemauan politik untuk menindaklanjuti putusan tersebut menjadi undang-undang yang akan menjadi landasan terbentuknya Kementerian Hukum Masyarakat Hukum Adat.
"Kami berharap kementerian ini bisa betul-betul disahkan sehingga masyarakat hukum adat itu bukan hanya dilindungi, melainkan dijamin hak haknya sebagai warga negara," kata dia.
Seperti diketahui, Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) yang diwakili oleh Ketua Umum Laksanto Utomo dan Sekretaris Jenderal Rina Yulianti mengajukan permohonan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Senin (20/5).
Mereka menggandeng Viktor Santosa Tandiasa dan Tim VST and Partners yang terdiri dari Fitri Utami, Fauzi Muhammad Azhar, dan Aditya Ramadhan Harahap sebagai kuasa hukum.
Dalam permohonannya, mereka menguji Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara yang dianggap bertentangan terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Mereka pada pokoknya meminta kepada MK untuk menambahkan frasa 'Masyarakat Hukum Adat' dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara sehingga bunyi Pasalnya menjadi:
"Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, masyarakat hukum adat, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan."
"Sudah daftar ke MK," ujar Viktor dengan menunjukkan bukti berkas pendaftaran permohonan, Senin (20/5).
Viktor menjelaskan yang menjadi alasan dalam permohonan pengujian Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara adalah untuk menguatkan kedudukan masyarakat hukum adat yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi guna menyalurkan kehendak dan aspirasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
"Penguatan terhadap masyarakat hukum adat ini perlu diupayakan mengingat eksistensi masyarakat hukum adat hingga saat ini malah semakin termarjinalkan, tidak serius diurus, bahkan kerap menjadi korban kekerasan negara yang secara masif mengambil lahan-lahan yang dari awalnya dikuasai dan didiami oleh kelompok-kelompok masyarakat adat," kata Viktor.
Viktor menambahkan, apabila melihat dalam aspek kelembagaan, urusan pemerintahan yang bersinggungan dengan hak-hak masyarakat adat masih melibatkan berbagai lintas sektoral yang meliputi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Dalam Negeri.
Menurut dia, diterapkannya sistem multi-pintu seperti saat ini yang mengatur mengenai urusan masyarakat adat berdampak pada tumpang tindih kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing kementerian.
Misalnya antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang dengan KLHK mengenai status tanah hutan adat. Padahal, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 telah mengamanatkan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam Undang-undang.
Dalam Pasal tersebut, terang Viktor, negara berkewajiban untuk memberikan pengakuan dan penghormatan serta menjamin hak-hak masyarakat adat dapat terlindungi dan terpenuhi oleh hukum.
Dengan demikian, kata Viktor menyimpulkan, pembentukan kementerian masyarakat hukum adat merupakan salah satu langkah progresif dalam memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat.
Ia menilai tidak masuknya frasa 'masyarakat hukum adat' sebagai salah satu urusan pemerintahan dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara menyebabkan tidak dibentuknya kementerian khusus yang mengurusi urusan pemerintahan masyarakat hukum adat.
"Hal ini kemudian menimbulkan permasalahan dan perlakukan diskriminatif dan jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable," ucap Viktor.
"Selain itu, juga bertentangan dengan kedaulatan rakyat in casu kedaulatan masyarakat hukum adat dan bertentangan dengan UUD 1945 in casu Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1)," tandasnya.
Masyarakat adat di Indonesia hingga kini masih berjuang untuk mendapat pengakuan dan perlindungan negara. Mereka terus mendorong agar Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat yang telah diusung sejak tahun 2003 itu disahkan. Terakhir, melalui jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bertarung. Namun, PTUN Jakarta menyatakan tidak menerima permohonan mereka.(fie))