Oleh: Tio Pirnando*
Akrobat listrik di kampung saya sudah tidak bisa ditolerir. Coba bayangkan, ketika Anda diharuskan bekerja dari rumah alias work from home (WFH), sandaran utamanya kecepatan internet, yang berpaut dengan kondisi listrik, saat tugas kerja Anda selesai, misalkan Anda mengetik di laptop atau komputer atau…(terserah pakai apa saja), tiba-tiba listriknya mati tanpa aba-aba, tanpa kedap-kedip memberi kode? Saya yakin, Anda sangat mangkel, setidaknya ngedumel. Atau saya saja yang begitu, karena laptop langsung mati.
Desa saya yang berlokasi di tengah-tengah Provinsi Jambi (ini perkiraan saja), permasalahan listrik masih menjadi kendala utama. Dari kecil sampai SMA dulu, ketika listrik mati hingga seharian, warga memang biasa saja. Bahasa halusnya, listrik sudah masuk kampung saja sudah bersyukur. Bapak-bapak tidak perlu lagi membawa petromak ketika menghadiri hajatan pada malam hari. Dengan adanya listrik, petromak pun di museumkan dalam geladak tempat penyimpanan padi.
Meskipun lampu pijar yang bersumber dari arus listrik, cahayanya masih tercegak ke jalan desa, lantaran tertutup oleh pohon-pohon rimbun depan rumah warga. Karena, hampir semua rumah di desa saya, pekarangannya pasti ada pepohonab maupun bunga-bungaan. Baik pohon rambutan, jambu biji, jambu air, di tambah pohon durian, dan duku di samping rumah. Untuk penghias rumah, ada bunga sepatu, mawar, serta bunga-bunga tujuh warna lainnya, yang biasa digunakan oleh dukun untuk mengobati orang sakit.
Makanya, ketika listrik masuk kampung, masyarat menyambutnya dengan suka ria. Bagi anak-anak kecil, mobil-mobil besar yang membawa beton-beton untuk dijadikan tiang penopang kabel listrik, itu merupakan sebuah hiburan tersendiri, dan tempat bermain, selain di hutan. Jarang-jarang mobil besar masuk kampung. Motor saja hanya 1-2 orang yang punya. Kenorakkan waktu itu sama seperti pertama kali melihat escavator, dan truck-truck ban gede yang akan mengaspal jalan desa. Noraknya minta ampun. Lebih norak dari mengejar maskapai terbang yang melintasi langit di desa saya. Padahal, pesawat itu tingginya minta ampun.
Oleh sebab itu, masyarakat kampung saya sepertinya tidak mempermasalahkan bila lampu pijar mati seharian, waktu itu. Lagi pula, ketika ilmuan Inggris, Micahel Farady, saat menciptakan listrik, barangkali tidak pernah memikirkan ada desa di Sumatera yang sangat butuh listrik. Ngapain juga dipikirin. Paling banter mereka waktu itu, supaya ruangan rumahnya terang pada malam hari agar kelihatan kalau ada orang bertamu, atau saat makan tidak salah suap, penerangannya pakai obor, atau lampu togok. Hanya saja, siap-siap pada pagi hari lubang hidung menjadi kotor berwarna hitam pekat, bekas asap yang dikeluarkan lampu togok. Bagi orang yang berduit, mungkin bisa beli lampu petromak. Nah, kalau lampu ini sungguh terang sampai ke dalam kamar. Hanya orang berduit yang bisa menyisihkan untuk membelinya.
Dari pembahasan di atas, saya rasa tidak mungkinlah Michael Farady dan Thomas Alva Edison, saat menciptakan listrik dan bola lampu, memang khusus diperuntukkan untuk desa saya. Nama desa saya pun mereka pasti tidak kenal. Tapi, bikinan mereka sudah mendunia, apa boleh buat desa saya juga mendapat jatah listrik masuk desa. Apalagi, ini dulu program Pak Harto.
Pertanyaannya, sekarang kan sudah zaman digital. Yang katanya siap menyambut revolusi industri 4.0, kok kondisi listrik di desa saya, sudah berpuluh tahun, perkembangannya belum membahagiakan?
Enggak kebayang kalau listrik mati di ibu kota negara, DKI Jakarta, hanya beberapa jam, mungkin hitungan menit, wah siap-siap jajaran PLN diteror untuk diminta pertanggung jawaban. Tapi, di desa nun jauh ini, siapa yang mau diteror? paling-paling hanya cacian, sumpah serapah yang bisa dilontarkan. Itu pun memaki dalam hati alias ngedumel.
Kalau tulisan ini dibaca oleh para pesohor yang ngurus-ngurus listrik, baik di tingkat pusat maupun daerah, cobalah di maintenance yang baik listriknya. Kita selalu mendorong anak-anak muda di seluruh penjuru tanah air agar memanfaatkan kebebasan dunia digital dalam berkarya. Supaya muncul talenta-talenta baru di daerah, yang bisa membuat konten atau apapun yang mendukung majunya sebuah daerah, dengan promosi-promosi pariwisata, kuliner, dan seabarek kekayaan budaya lainnya. Tapi kalau kondisi listriknya seperti lampu orgen tunggal hidup mati, reman-remang, bagaimana memperkenalkan atau mempromosikan itu semua? Tidak mungkin kita teriak-teriak di tengah hutan, di tengah lokasi pariwisata, supaya masyarakat dunia mengetahui bahwa di daerah kita sangat banyak destinasi wisata, dan lain-lain, ayo kunjungi. Kalau teriak-teriak kayak begitu, bisa-bisa dicap gila.
Kalau aliran listriknya lancar terjaga dengan baik, kan lebih gampang kita mempromisikan sesuatu, dengan kemampuan daya inovasi, dan kreasi. Barangkali kondisi listrik yang tidak mengasyikkan ini tak hanya terjadi di kampung saya, barangkali belahan kampung di Indonesia, yang pulaunya ribuan, bernasib sama. Semoga tidak.[***]
*) Kerani di Telusur.co.id